Demikian pula menjelang waktu berbuka. Wawan berinisiatif membelikan makanan untuk menu berbuka puasa. Ia senantiasa berangkat cepat, sehingga seluruh pesanan didapat dengan lengkap. Malahan, pria baik hati itu memakai uangnya sendiri membeli takjil untuk kami berlima.
"Tidak perlu diganti! Aku bahagia manakala membelinya."
Demikianlah, kami menunaikan ibadah puasa dengan hati tenang pada awal pekan Ramadhan itu. Tidak perlu terbirit-birit dan terburu-buru menjelang matahari terbit maupun saat terbenam.
Ada Wawan yang baik hati, selalu mengingatkan untuk beribadah tepat waktu, dan tulus berlelah-lelah membeli makanan sahur juga berbuka. Teman yang rajin pada bulan Ramadhan.
Sampai suatu pagi pada suatu hari, sebuah kejadian membuat kami berempat tersentak. Rasa canggung menyeruak. Kami berempat melupakan satu perkara.
***
Minggu pagi dihiasi sinar putih kekuningan dari arah timur. Wawan mengeluarkan Suzuki A 100 kesayangan dari ruang tamu. Mengelapnya sebentar kemudian menghidupkan mesin. Knalpot standarnya mengeluarkan suara bening yang nyaring ketika berakselerasi.
Ia mengenakan setelan sangat serasi. Rapi. Juga wangi.
"Ke mana? Pagi-pagi sudah keren."
Wawan tersenyum simpul, "biasa. Mau ke Gereja. Kebaktian."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H