Persoalan muncul ketika memasuki bulan Ramadhan.
Rata-rata kami berlima pulang sebelum waktu asar. Untuk berbuka, berangkat lagi ke sekitar Dipati Ukur. Demikian pula untuk makan sahur. Kami harus berangkat sebelum cuci muka --menghapus kantuk dan mimpi yang masih melekat-- agar kebagian makanan.
Pada waktu-waktu berbuka dan sahur kami berlima harus cepat datang ke Rumah Makan Padang Simpang Tigo, atau Kantin Sekeloa ataupun tempat makan di sekitar Dipati Ukur. Tempat makan murah tersebut senantiasa dipenuhi oleh pengunjung yang ingin menyegerakan buka puasa ataupun memperoleh makanan sahur sesuai dengan kehendaknya.
"Aku punya solusi," sahut Wawan, teman yang senantiasa mengingatkan agar segera pergi ke air ketika suara azan berkumandang. Ia mengingatkan untuk menjalankan ibadah tepat waktu.
"Memang bisa bangun dini hari?"
***
Ketika kelopak mata masih melekat, Wawan membangunkan kami berempat, menanyakan isi nasi bungkus akan dipesan. Nyawa belum semuanya berkumpul. Betapa berat mengingat-ingat makanan diinginkan
Setelah mencatat pesanan dan menerima uang, Wawan melaju dengan Suzuki A 100 membawa suara nyaring yang kian melemah. Kami berempat kembali menarik selimut. Dingin.
Rasa-rasanya baru mengatupkan mata tatkala suara heboh menghentak kesadaran kami berempat.
"Sahur! Sahur! Hayo pada bangun," seru Wawan sembari menenteng bungkusan.
Masing-masing menerima nasi dan lauk pauk dengan tulisan pada pembungkus, sesuai dengan catatan. Lengkap bersama uang kembalian.