Ego. Keras kepala. Merasa paling benar.
"Penyakit" itulah yang harus dikikis. Sudah waktunya menantang diri sendiri untuk melawan rasa malas. Melawan keterbatasan.
Perkataan Lusiana, ahli terapi okupasi itu, disampaikan sebelum bulan Ramadhan tiba. Lalu saya berencana membuat kegiatan untuk menantang diri sendiri.
Menggunakan bahan-bahan yang tersedia di rumah sebagai peralatan latihan. Berpikir positif bahwa tujuan sudah yang ditetapkan, diniatkan, sangat mungkin dicapai. Selama masih dikaruniai kesempatan bernapas. Berlaku mandiri dalam banyak hal dengan tidak bergantung kepada pihak lain.
Paling terakhir, sisa tiga terapi ditempuh sendiri. Artinya, berangkat terapi tidak perlu diantar dan ditemani. Saya yakin mampu melakukan sendiri. Untuk jaga-jaga, saya membawa tas berisi tongkat lipat.
Saya mengukur jarak tempuh dari rumah ke tempat terapi yang terletak di rumah sakit. Hanya 2,3 kilometer! Itu cara saya untuk membesarkan hati.
Maka setelah menimbang segala sesuatu, saya berjalan kaki ke lokasi terapi, berangkat dan pulang. Jarak bisa jauh atau dekat tergantung persepsi. Sebelumnya saya sudah terbiasa berjalan kaki sejauh satu hingga satu setengah kilometer.
Kan bulan Ramadhan? Pasti lapar, haus, dan lemas?
Pasti. Konsekuensi menjalankan ibadah puasa adalah lapar dan haus. Diam di tempat pun tetap terasa. Mengalami lemas, jika dirasa-rasa. Itu semua merupakan ilusi.
Perjalanan ditempuh selama 50-60 menit. Tergantung situasi. Misalnya, berhenti untuk fotokopi berkas pemeriksaan, berhenti untuk istirahat, ada pohon tumbang di jalan setapak, atau obstacles lainnya. Akhirnya saya mengetahui kecepatan berjalan kaki sendiri: kira-kira 2,3km per jam.