"Lawan rasa malas!" Suara lembut meluncur dari terapis berwajah salju. Katanya, rajin melatih otot setiap hari dapat membantu pemulihan lebih cepat.
Dari sembilan kali ikhtiar rehabilitasi medik, tiga di antaranya berada pada bulan Ramadhan. Sembilan terapi tersebut tidak dipandu oleh satu orang, tetapi beberapa terapis.
Hanya satu orang yang memandu upaya khusus, yakni occupational therapy, yang merupakan usaha pemulihan otot-otot halus di tangan. Terapis menstimulasi pergelangan tangan, sendi bahu, siku, dan jari-jari.
Bahu agar mampu berputar ke belakang dan ke depan. Siku diarahkan agar tidak selalu menekuk. Demikian pula dengan pergelangan tangan supaya lebih luwes, tidak beku.
Akhirnya jari-jari dilemaskan. Digerak-gerakkan sedemikian rupa sehingga ujung jempol mampu menyentuh buku-buku dan ujung jari lainnya. Sulit banget!
Untung tangan pualam nan lembut Lusiana membantu gerakan-gerakan tersebut. Telaten dan sabar, mendorong saya bersemangat untuk menggerakkan jari secara mandiri. Bantuan yang dilakukan merupakan stimulasi.
Dorongan semangat yang disampaikan pun menyejukkan. Lembut. Ujaran paling saya ingat adalah imbauan, "satu kendala terbesar adalah melawan rasa malas. Lawan rasa malas itu!"
Bagi saya, rasa malas merupakan cobaan dan godaan utama. Baru menerapkan latihan-latihan sendiri, rasa malas menggoda agar segera menghentikan kegiatan.
Muncul pikiran-pikiran mencari excuses dan kambing hitam. Menyalahkan lingkungan luar. Menyalahkan ketiadaan alat. Menyalahkan cuaca. Pun menyalahkan Jokowi (apa hubungannya, yak?). Maafkan saya, Pak Presiden.
Lusiana menyampaikan teguran yang memecahkan kebuntuan di dalam kepala. Memercikkan embun sejuk. Semua permasalahan ternyata berpangkal dari dalam diri sendiri.
Ego. Keras kepala. Merasa paling benar.
"Penyakit" itulah yang harus dikikis. Sudah waktunya menantang diri sendiri untuk melawan rasa malas. Melawan keterbatasan.
Perkataan Lusiana, ahli terapi okupasi itu, disampaikan sebelum bulan Ramadhan tiba. Lalu saya berencana membuat kegiatan untuk menantang diri sendiri.
Menggunakan bahan-bahan yang tersedia di rumah sebagai peralatan latihan. Berpikir positif bahwa tujuan sudah yang ditetapkan, diniatkan, sangat mungkin dicapai. Selama masih dikaruniai kesempatan bernapas. Berlaku mandiri dalam banyak hal dengan tidak bergantung kepada pihak lain.
Paling terakhir, sisa tiga terapi ditempuh sendiri. Artinya, berangkat terapi tidak perlu diantar dan ditemani. Saya yakin mampu melakukan sendiri. Untuk jaga-jaga, saya membawa tas berisi tongkat lipat.
Saya mengukur jarak tempuh dari rumah ke tempat terapi yang terletak di rumah sakit. Hanya 2,3 kilometer! Itu cara saya untuk membesarkan hati.
Maka setelah menimbang segala sesuatu, saya berjalan kaki ke lokasi terapi, berangkat dan pulang. Jarak bisa jauh atau dekat tergantung persepsi. Sebelumnya saya sudah terbiasa berjalan kaki sejauh satu hingga satu setengah kilometer.
Kan bulan Ramadhan? Pasti lapar, haus, dan lemas?
Pasti. Konsekuensi menjalankan ibadah puasa adalah lapar dan haus. Diam di tempat pun tetap terasa. Mengalami lemas, jika dirasa-rasa. Itu semua merupakan ilusi.
Perjalanan ditempuh selama 50-60 menit. Tergantung situasi. Misalnya, berhenti untuk fotokopi berkas pemeriksaan, berhenti untuk istirahat, ada pohon tumbang di jalan setapak, atau obstacles lainnya. Akhirnya saya mengetahui kecepatan berjalan kaki sendiri: kira-kira 2,3km per jam.
Selama perjalanan tidak mengalami haus, kendati saat pulang berjumpa dengan sinar terik matahari. Demikian halnya dengan rasa lapar. Tidak menjadi beban. Tiada penderitaan.
Tiga kali bolak-balik menempuh perjalanan ke tempat terapi, dengan berjalan kaki pada bulan Ramadhan, ternyata menyenangkan. Tidak ada gangguan berarti. Saya tetap mampu menunaikan ibadah puasa sampai akhir hari. Insha Allah.
Bisa jadi pada kesempatan berikutnya saya memilih berjalan kaki menuju rumah sakit: untuk pemeriksaan rutin dokter spesialis, pemeriksaan laboratorium, dan keperluan lainnya.
Melawan rasa malas adalah satu jalan keberhasilan untuk mencapai apa yang kita cita-citakan. Melawan rasa malas yang datang dari diri sendiri dalam segala bentuk dan dalih.
Jadi, melawan rasa malas adalah mengabaikan persepsi hambatan di dalam pikiran. Meskipun sedang berpuasa, saya menantang diri sendiri berjalan kaki jarak jauh demi menyingkirkan ego, keras kepala, dan perasaan paling benar.
Ternyata bisa, kendati perjalanan dilakukan pada bulan Ramadhan. Apakah itu berkah Ramadhan? Saya percaya demikian.
Mungkin pembaca punya pandangan lain?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H