Harga minyak goreng meninggi, tetapi tidak serta merta menaikkan harga jual kepada konsumen. Harga jual akhir tidak berubah, tetap Rp 1.000 per potong tanpa mengubah ukuran. Ditambah pada bulan lalu, tahu tempe langka akibat perajin tahu tempe sempat mogok produksi.
"Bagaimana lagi? Kalau dinaikkan, pembeli pada kabur," ujar Bu Sofia.
Menyikapi kenaikan harga yang berlangsung terus menerus, penjual nasi uduk, mi gleser, bihun goreng, dan gorengan itu sempat menaikkan harga jual gorengan. Menjadi Rp 1.250 per potong.
Apa yang terjadi?
Pelanggan turut menghilang bersama minyak goreng. Akhirnya wanita asal Sukabumi itu mengembalikan ke harga semula.
Baginya, dan bagi beberapa penjual gorengan di kawasan permukiman menengah bawah, yang penting modal bisa berputar, kendati keuntungan menipis. Masih ada yang bisa dimakan, katanya pasrah.
Birokrat berdalih, kenaikan harga minyak goreng disebabkan oleh kenaikan signifikan harga internasional. Juga terganggunya rantai distribusi industri minyak goreng karena menurunnya panen sawit.
Hal lain yang patut disalahkan adalah melonjaknya permintaan CPO (crude palm oil, bahan utama minyak goreng) untuk memenuhi kebijakan biodiesel B30. Terkendalanya logistik  akibat pandemi juga disalahkan (sumber).
Menurut Pramono Anung, setengah dari total 50 juta ton produksi minyak goreng diekspor. Pemerintah menghimbau agar produsen lebih mendahulukan kebutuhan dalam negeri, kendati harga internasional sedang tinggi (sumber).
Kita tunggu saja apakah himbauan itu bertuah.
Persoalan-persoalan di atas tidak akan mudah diterangkan kepada para penjual gorengan yang serba salah. Minyak goreng mahal, ongkos produksi meningkat. Di sisi lain ia tidak bisa semena-mena menaikkan harga jual gorengan.