Sejak akhir 2021 harga minyak goreng naik. Belakangan, kian langka. Pemerintah tidak berdaya, kendati telah menetapkan kebijakan pengendalian harga.
Pagi yang hujan. Saya berteduh di sebuah warung kelontong. Minum sebotol air mineral dan ngemil kacang goreng sambil menunggu cuaca cerah, saya iseng bertanya.
"Sekarang berapa harga minyak goreng?"
"Terakhir saya jual tujuh belas ribu per liter. Tapi sekarang barang susah. Kalau ada, saya beli, sekalipun mahal."
Sebelum kenaikan, harga minyak goreng adalah Rp 11-12 ribu per liter. Pantas warung sebelah, tempat saya biasa ngopi dan makan gorengan, tutup akibat harga mahal dan tiadanya minyak.
Beberapa waktu lalu, Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan menerapkan kebijakan satu harga Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).
Saya tidak perlu mencari tahu apa makna istilah-istilah terpelajar dan keren itu. Biar, orang-orang berpengetahuan dan berpengalaman luas yang akan menjelaskan.
Para pengguna di dunia nyata juga tidak bakal memahami. Hanya tahu bahwa pada saat ini, selain mahal, minyak goreng langka.
Pengguna seperti pedagang gorengan hanya menarik napas tanpa mampu protes, apalagi unjuk rasa. Setidaknya dirasakan oleh penjual gorengan, seperti: Emak (warung di halaman rumah saya), Bu Sofia, Bu Yanti.
Mereka memiliki impitan yang serupa.