Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Menjual Beras Organik

11 Maret 2022   20:57 Diperbarui: 11 Maret 2022   21:10 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh allybally4b dari pixabay

Pagebluk. Perekonomian ambruk. Jutaan buruh terpuruk. Berdagang adalah jalan logis di antara solusi. Tapi bila semua adalah penjual, siapa pembelinya?

Kepala Kasto sesak. Dipenuhi pikiran mengatasi masalah. Yakni menghasilkan pendapatan dalam jangka waktu cepat. Tabungan habis. Dompet terkikis. Belum bayar utang sebesar Rp 150 ribu kepada Acong.

Sepuluh bulan lalu pria berkacamata itu diberhentikan dari tempat yang selama sepuluh tahun memberinya penghasilan. Wabah berkepanjangan telah membuyarkan keuangan perusahaan.

Karyawan bagian produksi, pemasaran, dan pengemasan lebih dulu digulung gelombang pemutusan. Ia termasuk grup terakhir dipecat. Beberapa hitungan dan catatan mengenai posisi terakhir pos-pos simpanan, persediaan, kewajiban yang mesti dibayar, dan modal tersisa dibuat untuk disampaikan kepada pemilik pabrik.

Persinggungan antar manusia amatlah dibatasi, sehingga transaksi konvensional yang kian lama kian susut diganti oleh usaha berbasis digital.

Coba-coba mengikuti cara pemasaran menggunakan teknologi terkini, peruntungan Kasto tampaknya bukan di bidang ini.

Bisnis kripto? Belantara usaha yang tidak dipahaminya. Investasi binomo? Kasto hanya mengerti Bimoli. Mengeruk dolar dengan kerja global? Kualifikasi dimiliki tidak mampu menggapai. Jangan tanya soal kemampuan berbahasa Inggris, Kasto cuma tahu, oh yes oh no! Little little to me, but salary no up up.

Berbisnis kuliner? Kasto hanya memiliki kemampuan sederhana, seperti menggoreng tempe, tahu, membuat bakwan (bala-bala). Berdagang gorengan adalah peluang paling mungkin untuk menghasilkan keuntungan. Seperti dilakukan oleh sebagian besar teman dan tetangga sekitar rumah.

Tapi bila semua adalah penjual, siapa pembelinya?

Demi mendinginkan pertempuran di dalam kepala, Kasto mencari angin di pinggir kota.

Bayu menyapu helm. Hawa sejuk menyapa kepala. Perjalanan tak pasti menelusuri cakrawala gagasan mencari ikhtiar, membawa Kasto beristirahat di bawah pohon tepi hamparan sawah.

"Kopi. Jangan diaduk! Terlalu manis."

Penjual kopi mengangsurkan gelas plastik. Kasto menarik satu batang kretek tanpa filter dari lapak bermotor.

Membakar, lalu menerbangkan asap ke udara. Kemudian menarik napas panjang, sebelum mencicipi kopi hitam berkepulkepul. Tampak nikmat, tetapi pikirannya melayang bersama polusi putih ke awang-awang.

"Sepertinya si masnya lagi banyak masalah?"

Kasto termenung. Kedua matanya menatap ruang kosong, "ya, begitulah. Selama masih bernapas, selama itu pula masalah mendera."

Penjual kopi mengangguk-angguk. Kasto menghirup udara, tangannya menunjuk bangunan panjang di tengah sawah.

"Apa itu?"

"Tempat penggilingan padi. Bangunan tersisa."

Dulunya kawasan ini merupakan hamparan luas sawah produktif dengan beberapa tempat penggilingan padi. Menyusut sejak diakuisisi oleh pengembang. Sawah produktif ditukar dengan uang yang besaran jumlahnya belum pernah dilihat oleh petani.

Hamparan sawah menyusut, mata air mengering, seiring dengan tumbuhnya real estate, serta menggenangnya air mata.

Tak lama Kasto beranjak, menyusuri jalan sempit yang sedikit lebih lebar dari badan kendaraan roda empat. Sehingga ketika sebuah mobil akan melalui jalan tersebut, pengemudinya harus memastikan tidak ada kendaraan lain akan melintas.

Tibalah ia di bangunan yang di depannya terdapat lapangan berlantai beton, tempat pengeringan gabah menggunakan sinar matahari  Di bagian bangunan paling panjang terletak mesin huller (penggiling padi menjadi beras).

Di ujung bangunan, berdekatan dengan jalan, dibuat sekat-sekat kayu, untuk menempatkan berjenis-jenis butiran beras. Terdapat tumpukan karung goni berisi beras 50 kg.

Pada satu sekat bertumpuk beras di dalam kemasan plastik transparan tebal, ukuran 5 kilogram dengan desain bagus. Sangat bagus malah. Pemilik menyatakan sebagai produk top of the top dari penggilingan padi itu.

"Kalau mau berjualan, ambil beras organik dengan harga lima belas ribu. Jual delapan belas ribu per kilo. Laku cepat di kalangan atas."

Kasto mengerutkan kening. Sejenak memencet gawai, "Acong, butuh beras organik?"

Suara di seberang menjawab, "sekarang dagang beras, ya? Bawa ke sini!"

Kasto menarik satu-satunya lembaran merah di dompet. Dari kantong celana dirogohnya recehan. Jumlahnya pas lima puluh ribu.

Dua kemasan diikat kuat di jok belakang, lalu ia segera meluncur. Persediaan bahan bakar di tangki rasanya cukup untuk mencapai rumah Acong yang lumayan jauh. Beli bensin bisa saat pulangnya.

Nantinya, sampai di rumah Acong tawaran makan siang, kopi, dan rokok sudah pasti tidak bakal ditolaknya.

Setelah marem bercakap-cakap di gazebo yang terletak di halaman belakang, Kasto pamit kepada sahabat lamanya. Perut puas. Utang lunas. Dompet pun terisi kembali.

Dengan riang menunggang sepeda motor tua sambil bersiul. Menjual Beras organik ada keuntungan realistis untuk membeli bensin dan menyambung hidup esok hari, batin Kasto.

Perjalanan pulang masih jauh. Menjelang simpangan terakhir jalan protokol nan lengang, tiba-tiba bagian buritan oleng disertai suara desis tajam. Roda belakang kempis dengan cepat.

"Dua ratus meter ke depan ada tambal ban. Persis di sudut pertigaan," seru seseorang.

Kasto menghela sepeda motor. Dengan napas berkejaran tiba di tukang tambal. Tidak butuh waktu lama, roda sudah pipih kehabisan napas segera dibongkar. Paku panjang ditarik dari satu titik pada karet bundar itu.

"Ban dalam mesti diganti baru. Robeknya terlalu parah."

Kasto menunduk, melihat dengan saksama kerusakan tersebut.

"Berapa harga ban dalam baru? Emang tidak ada bekasan?"

Tukang tambal ban menggeleng, "hanya ada yang baru. Yang paling bagus. Cuma lima puluh ribu termasuk ongkos pasang."

Kasto termenung. Kedua matanya menatap ruang kosong.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun