Tak lama Kasto beranjak, menyusuri jalan sempit yang sedikit lebih lebar dari badan kendaraan roda empat. Sehingga ketika sebuah mobil akan melalui jalan tersebut, pengemudinya harus memastikan tidak ada kendaraan lain akan melintas.
Tibalah ia di bangunan yang di depannya terdapat lapangan berlantai beton, tempat pengeringan gabah menggunakan sinar matahari  Di bagian bangunan paling panjang terletak mesin huller (penggiling padi menjadi beras).
Di ujung bangunan, berdekatan dengan jalan, dibuat sekat-sekat kayu, untuk menempatkan berjenis-jenis butiran beras. Terdapat tumpukan karung goni berisi beras 50 kg.
Pada satu sekat bertumpuk beras di dalam kemasan plastik transparan tebal, ukuran 5 kilogram dengan desain bagus. Sangat bagus malah. Pemilik menyatakan sebagai produk top of the top dari penggilingan padi itu.
"Kalau mau berjualan, ambil beras organik dengan harga lima belas ribu. Jual delapan belas ribu per kilo. Laku cepat di kalangan atas."
Kasto mengerutkan kening. Sejenak memencet gawai, "Acong, butuh beras organik?"
Suara di seberang menjawab, "sekarang dagang beras, ya? Bawa ke sini!"
Kasto menarik satu-satunya lembaran merah di dompet. Dari kantong celana dirogohnya recehan. Jumlahnya pas lima puluh ribu.
Dua kemasan diikat kuat di jok belakang, lalu ia segera meluncur. Persediaan bahan bakar di tangki rasanya cukup untuk mencapai rumah Acong yang lumayan jauh. Beli bensin bisa saat pulangnya.
Nantinya, sampai di rumah Acong tawaran makan siang, kopi, dan rokok sudah pasti tidak bakal ditolaknya.
Setelah marem bercakap-cakap di gazebo yang terletak di halaman belakang, Kasto pamit kepada sahabat lamanya. Perut puas. Utang lunas. Dompet pun terisi kembali.