Dalam perjalanan melemaskan otot-otot kaki, saya berhenti membeli air minum di warung nasi uduk dan gorengan langganan. Lalu mencomot bakwan (bahasa lain: bala-bala) hangat sambil istirahat.
"Kok jajan di sini? Bukankah di rumah sendiri ada warung gorengan?"
Saya berdalih numpang istirahat. Lalu lelah sirna. Setelah menyerahkan uang lima ribu sebagai pengganti air mineral dan 2 bakwan, saya beranjak pulang.
Di halaman depan tampak Bu RT menggigit sepotong tempe goreng. Dua pembeli sedang menyantap lontong sayur.
Saya duduk di kursi plastik memesan kopi sasetan seduh. Goreng tempe sudah tandas, menyisakan dua potong bakwan yang cepat-cepat saya sikat.
Cukup laris. Pukul sepuluh gorengan sudah habis. Nasi uduk ludes. Tinggal beberapa porsi bihun goreng, gado-gado, dan lauk-pauk seperti tongkol dicabein dan balado telur.
Sehabis membayar kopi dan bakwan senilai Rp 5 ribu, saya bangkit lalu menuju pintu pagar. Keluar.
"Lho, malah pergi lagi. Bukannya pulang?"
Saya mampir ke kafe tetangga sebelah, memilih Latte dari menu. Berbincang-bincang seru dengan suami istri pemilik kafe.