Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Ngebon di Warung Teman, Bayar Kontan di Gerai Lain

8 Maret 2022   09:06 Diperbarui: 12 Maret 2022   02:45 2134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah warung sederhana milik teman. Seusai makan mi, ngopi, dan mengambil rokok, seorang kawan beranjak, "catet dulu ya! Ntar gampang itungannya."

Ceritanya, seorang teman membuka sebuah usaha sampingan demi menambah penghasilan. Warung yang menyediakan mi instan matang, kopi seduh, dan rokok.

Cukup ramai. Selain menjadi tempat tongkrongan teman-teman, warung sederhana itu melayani penjualan untuk warga yang umumnya penghuni rumah kontrakan. 

Lumayan perputarannya, kendati bukan dalam volume besar. Rata-rata penjualan diperkirakan tujuh puluh lima sampai seratus ribu per harinya.

Maklum, modal ditanamkan tidaklah besar. Cukup memenuhi permintaan pasar sekitar. Modal ditanam berputar lancar.

Tidak sampai satu tahun usaha mikro tersebut tutup. Lho?

Permasalahannya, segelintir kawan membayar dengan cara ngebon (mengebon-KBBI) alias bayar belakangan dengan catatan, kendati sudah makan minum. 

Misalnya, Gustavo seusai menyantap mi rebus pakai telur, menyeruput kopi, lalu minta sebungkus rokok. Menghabiskan dua batang sembari bercengkerama dengan kawan-kawannya.

Kemudian ia bangkit menuju sedan terbarunya seraya berseru, "catet aja dulu, ntar gampang itung-itungannya!"

Padahal ketika makan minum di restoran lain atau berbelanja di gerai-gerai modern Gustavo selalu membayar kontan. Menggunakan uang tunai, debit card, atau credit card.

Perilaku buruk yang kemudian menjadi preseden bagi segelintir teman yang memandang enteng persoalan jual beli milik teman sendiri.

Kecuali diterapkan sistem penjualan secara kredit, pedagang umumnya berharap menerima pembayaran kontan. Uang tunai dan aset yang mudah dicairkan sebagai tunai digunakan untuk membeli barang persediaan. 

Biasanya, toko grosir hanya mensyaratkan pembayaran tunai bagi pembelian barang.

Begitu siklus usaha di warung sederhana. Merogoh kantong membeli barang persediaan (mi instan kering, kopi saset, rokok, telur, sayuran, dan sebagainya). Barang diolah dan dijual kepada pembeli dengan mengutip keuntungan wajar. Besoknya, hasil penjualan tunai digunakan untuk mengganti dan menambah persediaan.

Siklus transaksi harian itu berlangsung secara tunai.

Jadi, bila ada yang membayar dengan utang, maka terpaksa pemilik warung mau tidak mau merogoh lagi pundi-pundi. Bahkan bisa menyurutkan jumlah stok dibeli, jika jumlah piutang menumpuk.

Bisa juga menyurutkan semangat pemilik warung sederhana untuk melanjutkan usaha. Seperti yang terjadi pada teman tersebut di atas, tidak sampai satu tahun usaha mikro tersebut tutup.

Artikel ini tak hendak membedah pengaruh utang terhadap usaha mikro, tetapi mengenai perilaku kita sebagai pembeli pada bisnis teman sendiri.

Pertama. Boleh jadi seorang teman berharap memperoleh keuntungan tunai. Kala membuka usaha (warung sederhana dan lainnya). Bukan keuntungan akrual, di mana hasil dicatat ketika terjadi pemufakatan jual beli.

Uang tunai tersebut digunakan untuk membeli stok barang dagangan. Akan membuatnya repot tatkala dibayar dengan catatan.

Kedua. Pemilik warung berharap penjualan tunai, karena selisih antara penerimaan dengan pembelian merupakan keuntungan tunai yang bisa segera dimanfaatkan. Entah untuk menambah modal atau untuk membeli susu anak.

Ketiga. Tidak mengentengkan masalah dihadapi warung sederhana yang notabene dimiliki oleh seorang teman.

Baginya, mungkin saja buka warung adalah solusi terdekat untuk memperoleh penghasilan. Atau memang pemilik warung menggantungkan hidupnya dari hasil usaha tersebut?

Membayar dengan uang tunai adalah mutlak perlu agar usaha tersebut berkelanjutan.

Keempat. Membantu usaha teman sendiri dengan membeli terlebih dahulu di warungnya, daripada di tempat lain. Mungkin saja harganya sedikit lebih mahal, tapi tidak ada salahnya kan membantu kemajuan usaha teman? Membantu, juga perwujudan rasa setia kawan.

Kelima. Bila kita tidak ada uang sama sekali --di mana hal ini nyaris mustahil---bantu teman tersebut dengan tenaga. Paling tidak menemani berbincang selagi ia berusaha.

Bisa jadi teman tersebut ikhlas membuatkan segelas kopi bagi kita.

Jadi, berbelanja secara tunai di warung milik teman lebih elegan dibanding bertransaksi dengan meninggalkan catatan atau ngebon (mengebon).

Secara langsung dapat membantu teman tersebut untuk memperoleh penghasilan. Bukan meruntuhkan semangat teman dalam menjalankan bisnis sesederhana apa pun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun