Di sebuah warung sederhana milik teman. Seusai makan mi, ngopi, dan mengambil rokok, seorang kawan beranjak, "catet dulu ya! Ntar gampang itungannya."
Ceritanya, seorang teman membuka sebuah usaha sampingan demi menambah penghasilan. Warung yang menyediakan mi instan matang, kopi seduh, dan rokok.
Cukup ramai. Selain menjadi tempat tongkrongan teman-teman, warung sederhana itu melayani penjualan untuk warga yang umumnya penghuni rumah kontrakan.Â
Lumayan perputarannya, kendati bukan dalam volume besar. Rata-rata penjualan diperkirakan tujuh puluh lima sampai seratus ribu per harinya.
Maklum, modal ditanamkan tidaklah besar. Cukup memenuhi permintaan pasar sekitar. Modal ditanam berputar lancar.
Tidak sampai satu tahun usaha mikro tersebut tutup. Lho?
Permasalahannya, segelintir kawan membayar dengan cara ngebon (mengebon-KBBI) alias bayar belakangan dengan catatan, kendati sudah makan minum.Â
Misalnya, Gustavo seusai menyantap mi rebus pakai telur, menyeruput kopi, lalu minta sebungkus rokok. Menghabiskan dua batang sembari bercengkerama dengan kawan-kawannya.
Kemudian ia bangkit menuju sedan terbarunya seraya berseru, "catet aja dulu, ntar gampang itung-itungannya!"
Padahal ketika makan minum di restoran lain atau berbelanja di gerai-gerai modern Gustavo selalu membayar kontan. Menggunakan uang tunai, debit card, atau credit card.