Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Menjelajahi Gang, Menyusuri Dinamika Menarik

26 Februari 2022   06:58 Diperbarui: 26 Februari 2022   13:15 2173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beragam sketsa berpusar. Kala menyusuri jalan-jalan lingkungan sempit berliku. Bab-bab kisah kecil meliputi warga kecil dalam catatan kecil. Diary.

Tiga tahun terakhir, menyusuri jalan lingkungan berukuran lebar satu sampai satu setengah meter menjadi rutinitas. Paling tidak seminggu sekali menjelajahi gang.

Dulu nyaris taksempat. Kalaupun pernah, tidak sedikit pun menilik kehidupan warga bermukim. Terlalu tinggi hati untuk melihat ruang sempit yang, ternyata, menarik dengan segala dinamika di dalamnya.

Ini catatan selama saya berpetualang mengitari gang, di antara rumah-rumah berukuran mungil. Mungkin 20-30 meter persegi atau bisa lebih sedikit. Yang jelas, tidak seperti pemukiman di klaster atau real estate dengan hunian mentereng berukuran sama besarnya.

Bank Keliling

Masuk lebih dalam disambut oleh spanduk merah membentang di antara rumah berdinding abu-abu dan pink, dengan huruf kuning, putih, dan biru, bertuliskan "Tolak Keras Bank Keliling Beroperasi di Wilayah Ini".  Menurut warga, mereka mencemaskan kehadiran personel yang menawarkan tabungan sekaligus pinjaman itu.

Disambut spanduk menolak Bank Keliling (dokumen pribadi)
Disambut spanduk menolak Bank Keliling (dokumen pribadi)

Bunga mencekik leher nasabah. Rentenir menerapkan bunga 10 hingga 20% per bulan. Terasa "ringan" karena nasabah mengangsur setiap hari. Bagaimana mekanisme persisnya? Saya belum menggali informasi lebih dalam.

Warung

Lebih dalam lagi, terlihat beberapa rumah difungsikan sebagai ruang mencari penghasilan. Warung sayur, toko kelontong, warung bakso, penjual gorengan dan nasi uduk.

Warung penjualan nasi uduk, gorengan, dsb. (dokumen pribadi)
Warung penjualan nasi uduk, gorengan, dsb. (dokumen pribadi)

Harga disesuaikan dengan kemampuan warga setempat. Barang dagangan dikemas dalam ukuran ekonomis, tidak bakal semahal nilai jual komoditas serupa di supermarket.

Pemodal lebih besar membuka toko kelontong yang menyediakan beras, minyak goreng, gula, kerupuk, hingga permen. Harga ditawarkan nyaris sama dengan barang sejenis di pasar. 

Boleh membeli secara eceran. Boleh juga dijadikan sumber kulakan bagi mereka yang memiliki gerai lebih kecil.

Ada juga warung sayur. Menyediakan kebutuhan sehari-hari dengan harga terjangkau. Ikan asin, oncom, jengkol, ayam dibungkus seperempat kilogram, sayur asam atau sup paketan, dan seterusnya. Tapi jangan coba mencari daging sapi. Jarang ada.

Penjual Sayur Bermotor

Penjual Sayur Bermotor (dokumen pribadi)
Penjual Sayur Bermotor (dokumen pribadi)

Nah pedagang sayur bermotor kemungkinan besar menjual daging, dikemas ukuran dua ratus lima puluh gram. Ayam pun dijual utuh, baik ayam negeri maupun ayam kampung.

Kualitas barang-barangnya relatif bagus. Harga ditawarkan nyaris sama dengan nilai barang serupa di pasar. Modal harian diputarkan oleh pedagang sayur lumayan: 1,5 juta per hari. Mestinya keuntungan didapat pun lumayan.

Penjual Sayur Pikulan

Masuk lebih jauh, saya berjumpa dengan pedagang sayur pikulan. Sepotong bambu mengusung dua keranjang ditutup tampah berisi: sawi putih, labu siam, tomat, bawang, cabai. Dibungkus dengan harga hemat.

Penjual Sayur Pikulan (dokumen pribadi)
Penjual Sayur Pikulan (dokumen pribadi)

Pengusung adalah seorang pria renta, tapi kelihatan sehat. Menurut pengakuan beliau, ia berjalan pulang pergi sejauh 14 kilometer menjajakan sayur mayur. Saya sungkan menanyakan, berapa nilai dagangannya? Perkiraan terbaik tidak lebih dari dua ratus ribu rupiah. Entahlah.

Permak Lepis

Pada satu lorong, bagian dari gang berliku-liku simpang siur, terlihat sebuah rumah mungil dibagi dua. Di sebelah kanan terdapat warung gorengan. 

Sayap kiri digunakan sebagai tempat "Aneka Vermak Levi's: Ganti Sleting, dll." Maksudnya, resleting. Di bagian belakang barulah terletak ruang tidur, dapur, kamar mandi.

Plang aneka Vermak Levi's (dokumen pribadi)
Plang aneka Vermak Levi's (dokumen pribadi)

Sepuluh tahun lalu, cukup mudah menjumpai tukang "Permak Lepis", baik yang menjalankan usaha di suatu tempat maupun berkeliling menggunakan sepeda pancal.

Bisa jadi generasi sekarang asing dengan istilah permak lepis atau Vermak Levi's. Vermak adalah memperbaiki atau mengubah pakaian dengan cara menjahit.

Ya! Sekarang lebih mudah dan murah untuk membeli pakaian baru, daripada menjahitkan baju, memperbaiki jahitan lepas, kancing copot, atau kantong robek. Dengan itu, penjahit kecil dan tukang permak pakaian tersingkir lalu tergusur.

Namun tukang vermak yang saya temui masih menerima order, berupa reinforcement baju baru dari marketplace yang cuma diobras dalam pembentukannya. Juga penambahan, semisal memasang lencana pada seragam sekolah.

Saya kemudian menggunakan jasa pria ramah itu untuk memperbaiki celana pendek yang lepas jahitannya, membetulkan resleting. Pokoknya pakaian dan celana layak pakai dengan sedikit kerusakan.

Jasa Pengisian Korek Api

Ah, ini adalah profesi langka menjelang era metaverse. Saya lupa, kapan terakhir menggunakan jasa pengisian korek api gas. Sekian belas tahun terakhir tidak pula melihatnya.

Akan tetapi saat beristirahat minum di sebuah kedai, saya bertemu dengan seorang pria berusia 70 tahun. 

Pria berjanggut keperakan, memakai peci bulat, menawarkan jasa pengisian gas korek api kepada pemilik warung atau siapa pun yang membutuhkan. 

Dengan menenteng kotak kayu (sekitar 403020 cm2) berisi tabung cairan butana, korek gas bekas, dan peralatan lain yang tidak terlihat. Menurut pengakuannya, ia menekuni usaha tersebut sejak tahun 1990-an. Lebih dari 30 tahun!

Ongkosnya? Dengan seribu rupiah korek terisi penuh. Sedangkan harga korek gas baru cukup dengan uang dua ribu bisa didapatkan. Bisa lebih, tergantung kualitas dan merek. Kira-kira berapa hasilnya? Ahmad Jaelani mengaku, pengisian mencapai 30 korek dalam sehari.

Ahmad Jaelani, penjaja jasa pengisian korek api gas (dokumen pribadi)
Ahmad Jaelani, penjaja jasa pengisian korek api gas (dokumen pribadi)

Doclang Pikulan

Usai mengikuti alur gang yang meliuk-liuk rasanya cukup melelahkan. Saatnya menghentikan penjual doclang pikulan di mulut gang. Menyantap irisan lontong dan tahu goreng disiram saus kacang.

Penjual doclang pikulan (dokumen pribadi)
Penjual doclang pikulan (dokumen pribadi)

"Berapa hasil jualan sehari?"

"Sekarang, untuk memperoleh Rp 75 ribu sih udah bagus, disetor ke juragan. Saya dapat 40% bagian. Bersyukur, bisa melanjutkan hidup dengan rezeki segitu."

***

Bersyukur! Pemahaman yang sebelumnya tidak pernah saya rasakan. Petualangan di dalam gang membuat saya mampu menikmati rezeki, maupun serangan sakit serta penderitaan, sebagai karunia tak terkira.

Demikian catatan kecil dibuat setelah menjelajahi lika-liku gang, di mana saya menjumpai semangat kehidupan apa adanya. Dinamika menarik untuk diresapi. Mungkin saja masih ada beberapa hal yang terlewat dari pandangan mata saya.

Barangkali para pembaca memiliki pengalaman serupa?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun