Sepuluh cedera. Tujuh dijemput maut. Pemilik lima mobil berpelat palsu melindas mereka yang tidak berdosa. Menggunakan SUV mewah berwarna merah. Ngeri!
Suara tawa mengambang di udara bersama anyir darah. Arogansi tidak kenal kata maaf terbahak-bahak menyaksikan bapak-bapak, ibu-ibu, remaja, dan anak-anak bergelimang darah di jalanan.Â
Di antaranya, tangan atau kakinya patah. Mengerang, meraung-raung kesakitan dalam tangisan. Sisanya diam menghadapi kematian.
Pria bertubuh tambun berseri-seri di balik kemudi mobil merah, bersimbah darah pada bumpernya yang penyok sana-sini. Ia memindahkan tuas persneling ke posisi R, lalu ke D, dan menindas pedal gas sedalam-dalamnya.
Mesin SUV merah berteriak kencang, melesat ke arah selatan dengan membawa bercak-bercak masih basah. Sebagian memercik tertiup akselerasi tenaga gahar. Meninggalkan noktah-noktah di atas hamparan mulus berwarna kelam
Para penonton terperangah. Beberapa meminggirkan korban-korban, menutup dengan koran dan selimut untuk menghangatkan dari dinginnya gerimis. Beberapa menelepon ambulans, aparat kepolisian, dan petugas pemadam kebakaran.
Beberapa merekam, baik mengambil gambar secara statis maupun dinamis, lalu mengunggah ke Facebook, YouTube, dan media sosial dengan harapan menjadi viral. Demi mencetak jumlah viewers terbanyak.
Dalam hitungan menit foto-foto dan video amatir itu menyebar ke ratusan WhatsApp Group. Diteruskan lagi oleh anggota-anggota grup tidak berhati. Mereka yang terbiasa meneruskan gambar viral tanpa saringan akal.
Seorang mencatat nomor pelat mobil penyebab kecelakaan maut.
Setengah jam setelah memperoleh laporan, berturut-turut datang: petugas medis, petugas pemadam kebakaran. Terakhir, pasukan bersepatu lars berpakaian juga bersenjata lengkap, yang dengan sigap mencoret-coret aspal, mengukur, mengambil gambar-gambar, mencatat, dan berdiskusi.