Seminggu kemudian saya menikmati KTP baru. Tidak sampai sebulan, terjadi pemekaran wilayah di mana alamat tinggal berubah RT. Maka KTP baru jadi ditarik untuk diganti KTP dengan RT anyar. Keterangan lainnya tidak berubah.
Saya mendapatkan Surat Keterangan (Surket) sementara sebagai pengganti KTP selagi diurus. Dari itulah persoalan muncul.
Selama 2,5 tahun kemudian, kertas keterangan seukuran HVS A4 itu harus diperbaharui setiap enam bulan di kantor kecamatan. Bayangkan, 5 kali balik untuk mencetak Surket pengganti. Alasannya, blanko KTP habis!
Dikopi bolak-balik untuk berbagai keperluan sehingga kertas menjadi lusuh.
Baru pada tahun 2019, saya mendatangi Disdukcapil setempat, protes keras mengenai lamanya proses pembuatan E-KTP. Melihat kondisi saya yang invalid akibat penyakit kronis, akhirnya petugas bersangkutan merekam kembali data saya. Katanya, hasil perekaman di Jakarta tidak terbaca.
Dengan mengorbankan waktu istirahat, petugas secara intensif melakukan perekaman dan menunggu proses pencetakan E-KTP. Selesai hari itu juga! Terima kasih.
Selesai persoalan? Ternyata tidak!
Baru-baru ini saya hendak melakukan perubahan data pada sebuah Bank BUMN. Prosedurnya adalah menunjukkan buku tabungan, kartu ATM, eKTP.
Masalah timbul ketika KTP elektronik tidak dapat dibaca di card reader. Diketahui bahwa kantor-kantor pelayanan publik diwajibkan memakai alat tambahan card reader.
Karena identitas di dalam E-KTP tidak terbaca, maka pelayanan perbankan tidak dapat dilanjutkan. Lemes. Mengingat kerumitan-kerumitan yang akan dihadapi dalam mengurus perbaikan KTP.
***