Ditjen Perumahan Kementerian PUPR pada tahun 2022 diguyur anggaran sebesar Rp 5,1 triliun. Sebagai pembiayaan program: rumah khusus; rumah susun; penyaluran bantuan prasarana, sarana dan utilitas (PSU) untuk rumah bersubsidi pemerintah; dan rumah swadaya.
Target tersendiri untuk pembangunan rumah swadaya adalah 118.960 unit, selaras dengan Program Sejuta Rumah. Masing-masing warga penerima program rumah yang dibangun atas inisiatif masyarakat itu, mendapat uang tunai Rp 20 juta. Untuk pembelian material bangunan Rp 17,5 juta dan ongkos tukang Rp 2,5 juta.
Selengkapnya dapat dibaca di sini
Nilai di atas cukup relevan, menimbang bahwa pembangunan rumah swadaya dilakukan dengan asas padat karya, gotong royong, dan menggunakan bahan-bahan produksi lokal. Diperkirakan jumlah stimulan tidak terpaut jauh dengan nilai pembangunan rumah sangat sederhana (RSS).
Bandingkan dengan anggaran rehabilitasi rumah tidak layak huni (RTLH) di Pemda Kabupaten Bogor senilai Rp 15 juta setiap rumah (sumber).
Perhitungan Harga
Diasumsikan bahwa dimensi rumah swadaya sama dan sebangun dengan RSS, atau 37 meter persegi ekuivalen 21 meter persegi. Standar pembayaran developer kepada kontraktor untuk pembangunan RSS berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 1,3 juta per meter persegi, di wilayah Bogor pada tahun 2016.
Dari asumsi dan perhitungan simpel tersebut, diperoleh harga terendah rumah swadaya sebesar Rp 21 juta. Tertinggi Rp 27,3 juta.
Material alam (batu, pasir, kayu, bambu, dan sebagainya) diperoleh dari daerah setempat, sehingga biaya mobilisasi menjadi rendah. Bahan pabrikan mungkin harganya naik, tetapi tidak signifikan dan aplikasinya tidak seketat pembangunan rumah biasa. Tenaga kerja berasal dari skema padat karya dan gotong royong.
Angka stimulan diberikan oleh Ditjen Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tidak terpaut jauh dengan simulasi di atas. Di luar perhitungan teknis, terdapat nilai intangible berupa pelaksanaan pembangunan secara swadaya, berkelompok, dan bersifat tanggung renteng.