Dari belakang tercium bau anyir. Pekat, tajam, mirip karet hangus. Penumpang meminta agar bus menepi. Sopir menyeringai sinis. Bergema jerit histeris.
Saat matahari tergelincir aku tiba di pool. Sedikit terlambat, tapi masih sempat mengikuti Salat berjamaah. Setelahnya ada cukup waktu untuk makan siang, Aku melayangkan pandang ke sekeliling.
Pool milik perusahaan otobus terkemuka demikian luas. Selain ruang berlandas beton, tempat lima bus malam parkir menunggu penumpang ke berbagai tujuan jarak jauh, juga terdapat bengkel perbaikan kendaraan besar tersebut.
Di sebelah kiri dari bengkel terletak kantor pusat operasional yang megah. Berderet dengan kantor terlihat, berturut-turut, ruang tunggu nyaman dan rumah makan prasmanan gaya Sunda. Tidak begitu mahal.
Kalau mau lebih hemat, bisa makan bakso, mi ayam, atau makanan ramesan di seberang jalan.
Agak terpisah dari area parkir bus, bengkel, kantor, ruang tunggu, dan restoran tampak stasiun pengisian bahan bakar milik sendiri.
Seusai makan, bersama penumpang lainnya saya naik ke bus malam jurusan Denpasar, Bali. Seorang berseragam mencitrakan identitas korporasi otobus menanyakan tiket, lalu menunjukkan tempat duduk. Setelahnya melongok sampai belakang untuk memastikan seluruh penumpang telah duduk di bangku masing-masing.
Petugas lain membagikan kotak karton bertuliskan "Selamat Menikmati" yang berisi empat macam penganan dan segelas air mineral kemasan. Di belakangnya, seseorang mengedarkan bantal dan selimut beraroma melati.
Tepat pukul satu siang, bus menggeliat. Meninggalkan pool menyusuri jalan. Menanjak menuju pintu tol.
Dada terasa berkerut-kerut menahan pilu berkedut-kedut. Betapa ini merupakan perjalanan jarak jauh untuk pertama kalinya. Meninggalkan mereka dengan tatapan penuh harap berisi kecemasan.
Ada saatnya bus malam memampiri terminal Pulo Gadung. Lapor dan menjemput dua penumpang yang telah memesan tempat duduk.
Senja merupakan pemandangan indah sebelum jalan tol Cikampek habis. Seiring dengan hilangnya sinar merah di horizon barat, bus malam parkir pada halaman sebuah rumah makan besar di Sukamandi. Di sebelah kiri dan kanannya parkir bus-bus serupa dengan mesin menyala.
Para penumpang menggeretakkan tulang belulang, lalu keluar untuk bersantap malam menggunakan kupon. Jatah makan yang tersedia rasanya so-so, tapi karena perut sangat lapar ya habis juga.
Selepas makan malam, sopir kedua mengambil alih kemudi. Jalur Pantura yang dikenal kejam dilibas dengan mudah. Bus malam melesat.Â
Di sisi jalan kiri hanya sebentar, mencuri kesempatan untuk menyalip truk tronton berjalan seperti keong. Kebanyakan berada di badan jalan bagian kanan. Celah sedikit adalah peluang membalap kendaraan-kendaraan yang ketakutan dengan kehadiran raja jalanan.
Bus meliuk-liuk bak kelelawar melayang cepat menyambar sasaran. Penumpang terguncang-guncang. Sebagian tampak tidur atau pura-pura memejamkan mata. Sebagian lagi tampak tegang, turut mengawasi jalanan yang disoroti lampu kendaraan.
Ketika melalui jalan nasional dua arah, penumpang menahan napas. Wajah bus berjarak kurang dari seperempat meter dari pantat bus di depan. Goyang kiri kanan berancang-ancang menyalip. Begitu ada celah, sopir bus menekan tuas lampu sein kanan lalu memendam pedal gas.
Lampu high-beam (dim) dari kendaraan kecil berkejap-kerjap putus asa, pontang-panting menerjang bahu jalan bergelombang menghindari terkaman bus. Satu sepeda motor terperosok ke selokan, pengendaranya mengacungkan kepalan tangan.
Laksana melihat film laga melalui layar lebar. Bangku tempat dudukku berada di hadapan kaca depan yang lebar. Aku juga merasa seperti menaiki mobil reli, di mana kondektur memberikan navigasi kepada pengemudi agar menambah kecepatan.
Sejak saat itu pula waktu yang ku rencanakan untuk beristirahat telah lenyap. Diganti oleh pertunjukan menegangkan selama perjalanan malam. Sedikit bernapas lega, saat bus menepi di daerah Pati.
Sebagian besar penumpang terlelap. Aku dan segelintir penumpang mengekor para awak bus menuju sudut trotoar. Pada pagi paling buta aku menyegarkan badan dengan se-pincuk nasi gandul dan sepotong tempe goreng. Bayar masing-masing. Ia tidak termasuk akomodasi.
Bus beringsut dikendalikan oleh pengemudi pertama. Aku bernapas lega. Ia mestinya berperilaku seperti pada awal keberangkatan.
Aku merebahkan kursi. Menepuk-nepuk bantal dan menarik selimut menutupi tubuh dari dinginnya AC. Kedua mata terpejam nyaman. Aku tersenyum membayangkan hari pertama berkantor di Denpasar. Pendapatan lebih besar dengan pengembangan karir terbuka lebar.
Suara klakson berteriak. Lampu dim berkedip cepat. Aku membuka mata, menatap pantat bus di depan yang sangat dekat.
Badan bus bergoyang kiri kanan. Lampu sein kanan berkedip. Dengan satu hentakan menyalip pesaing diiringi aba-aba sang kondektur.
Ternyata perilaku pengemudi pertama tidak berbeda dengan sopir kedua. Sama-sama tukang balap. Aku baru mengerti, mengapa bus dari perusahaan ini disebut raja jalanan.
Mata menjadi terang. Kembali mengawasi perlombaan adu kecepatan melawan waktu dan nafsu. Pertunjukan menegangkan berputar ulang di depan mataku.
Tegang. Lelah. Bercampur ketakutan. Sampai suatu keadaan tidak mengenakkan membangkitkan para penumpang dari lelap.
Dari belakang tercium bau anyir. Pekat, tajam, mirip karet hangus. Penumpang meminta agar bus menepi. Sopir menyeringai sinis. Bergema jerit histeris.
***
Biasanya bau hangus semacam itu diakibatkan oleh pergesekan antara facing dan pelat kopling. Bisa juga akibat pengemudi menekan rem terlalu dalam secara terus menerus. Atau selang oli yang menyentuh panasnya mesin.Â
Banyak kemungkinan. Aku tidak mengetahui jelas sebab teknis mana yang menjadi sumber perkara, yang pasti bus malam akhirnya gagal mencapai Denpasar.
Aku tahu persis, kalian mendapatkan kejelasan dari berita-berita. Juga dari press-release yang diterbitkan pihak kepolisian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H