Bus beringsut dikendalikan oleh pengemudi pertama. Aku bernapas lega. Ia mestinya berperilaku seperti pada awal keberangkatan.
Aku merebahkan kursi. Menepuk-nepuk bantal dan menarik selimut menutupi tubuh dari dinginnya AC. Kedua mata terpejam nyaman. Aku tersenyum membayangkan hari pertama berkantor di Denpasar. Pendapatan lebih besar dengan pengembangan karir terbuka lebar.
Suara klakson berteriak. Lampu dim berkedip cepat. Aku membuka mata, menatap pantat bus di depan yang sangat dekat.
Badan bus bergoyang kiri kanan. Lampu sein kanan berkedip. Dengan satu hentakan menyalip pesaing diiringi aba-aba sang kondektur.
Ternyata perilaku pengemudi pertama tidak berbeda dengan sopir kedua. Sama-sama tukang balap. Aku baru mengerti, mengapa bus dari perusahaan ini disebut raja jalanan.
Mata menjadi terang. Kembali mengawasi perlombaan adu kecepatan melawan waktu dan nafsu. Pertunjukan menegangkan berputar ulang di depan mataku.
Tegang. Lelah. Bercampur ketakutan. Sampai suatu keadaan tidak mengenakkan membangkitkan para penumpang dari lelap.
Dari belakang tercium bau anyir. Pekat, tajam, mirip karet hangus. Penumpang meminta agar bus menepi. Sopir menyeringai sinis. Bergema jerit histeris.
***
Biasanya bau hangus semacam itu diakibatkan oleh pergesekan antara facing dan pelat kopling. Bisa juga akibat pengemudi menekan rem terlalu dalam secara terus menerus. Atau selang oli yang menyentuh panasnya mesin.Â
Banyak kemungkinan. Aku tidak mengetahui jelas sebab teknis mana yang menjadi sumber perkara, yang pasti bus malam akhirnya gagal mencapai Denpasar.