Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Membuka Bisnis Kuliner

10 Desember 2021   20:58 Diperbarui: 10 Desember 2021   21:00 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Huek! Terlalu asin...!

Aku memandang heran, sambil mengangkat untaian mi masih panas dengan sumpit. Tangan kiri menyendok kaldu ayam di mangkuk lebih kecil.

"Terlalu berminyak pula!"

Seruputan terakhir terasa nikmat. Ingin tambah, perut sudah padat. Aku mesti mencadangkan ruang untuk segelas es campur.

Sementara ia menyisakan mi ayam yang berkurang satu sendok makan. Lantas mengaduk isian dalam gelas besar dan memasukkan satu sendok ke mulutnya.

"Bah! Terlalu manis."

Mereka, makanan minuman itu bakal menjadi jatahku. Perut alamat meledak, meski lidah bernafsu

Enak banget sih! Menurut seleraku. Tidak baginya.

Nyaris seluruh makanan populer di kota ini sudah kami sambangi. Apakah dengan cara dine-in ataupun take away.

Yamin pangsit toko Yung Shin. Es Oyen Jalan Sawojajar. Mi ayam Bangka Jalan Sudirman. Soto santan Empang. Ayam goreng Jalan Pahlawan. Sop buntut Air Mancur. Soto Rempah Bu Nelly. Bubur ayam Jembatan Merah. Ketoprak Japar. Semuanya ditolak oleh indera pengecapnya.

Terlalu asin lah. Terlalu manis lah. Terlalu pedas lah. Terlalu banyak micin lah. Terlalu banyak santan lah. Dan terlalu terlalu lainnya.

Bahkan makanan siap saji gerai waralaba asing pun dianggap berbeda dengan produk serupa di negara asalnya.

Selera aneh. Seaneh tuturan yang serba keminggris. Perubahan-perubahan itu muncul sepulangnya dari Amerika. Kini ia lebih pintar. Lebih jago bahasa Inggris dengan meminggirkan bahasa ibunya sendiri.

Sejak menjajal aneka jajanan populer yang kemudian tidak sesuai lagi dengan lidahnya, maka ia memasak sendiri.

"Begini makanan sehat. Garam, gula, bumbu ditabur secara terukur. Which is sesuai dengan standar kesehatan ditetapkan oleh WHO."

Aku menelan buncis, menyesap kuah hambar dengan segala keengganan.

"You know WHO? That's a lembaga kesehatan tingkat world."

Jangan harap bisa menemukan bahkan satu butir micin di rumah. Itu adalah musuh abadinya.

"Micin? It's not healthy, my dear."

Sejak saat itu aku sarapan dan makan pagi seperlunya. Asalkan tidak lapar saja. Makan di rumah merupakan perjumpaan dengan rasa hambar menyiksa.

Kenikmatan rasa kuperoleh dari warteg di sekitar kantor. Atau kalau mau merogoh kantong lebih dalam, makan Chinese food dan di tempat-tempat makan populer. Selera umum!

***

"Honey. Well, aku akan mengedukasi masyarakat umum. Especially tetangga sekitar."

"Kenapa sayang?"

"Kegiatan kantor sudah berkurang. Banyak waktu luang di rumah."

Aku menyantap makan malam dengan enggan. Makanan terhidang membuat selera terhadang. Hambar tiada tara. Tiada rasa.

"So, aku menyewa kios di pojok jalan. Uang muka, sudah. Sisanya dapat kamu selesaikan, bukan?"

Aku menarik napas, "bikin usaha apa? Toko kelontong..."

"No, no, not grocery store. Tapi membuka culinary business....!"

Mendadak aku ingin menyeduh kopi. Dengan tanganku sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun