Kini predikat sukses dan kaya raya bisa disewa, tanpa perlu membelinya.
Demi mendapat label sebagai figur sukses yang kaya, seseorang memerlukan pelengkap berupa: rumah megah, mobil mewah, tas branded, aksesoris mahal, juga iPhone atau iPad. Tidak perlu membeli, tapi cukup menyewa.
Demikian kira-kira interpretasi sederhana saya terhadap unggahan di laman Facebook sahabat saya nan cantik. Sati Subiakto, seorang Chief Financial & Administration Officer perusahaan Advertising Agency di Jakarta Selatan, menayangkan ulang artikel Kris Moerwanto.
Lengkapnya kurang lebih begini.
Untuk menegaskan bahwa dirinya sudah mencapai keberhasilan, sukses, meraih achievement tertentu, kaya raya, seseorang memamerkan dan bergaya seakan-akan memiliki harta, properti, berbagai rupa barang istimewa. Kendati semuanya bukan benda-benda milik sendiri. Melainkan menyewa.
Pamer dan bergaya telah menjadi kebutuhan untuk mengukuhkan status, bahkan gengsi orang per orang. Ia adalah kebutuhan personal yang spesifik dan unik.
Kebutuhan bersifat personalized, customized, on demand yang sekarang bisa didapat dengan mudah: menyewa! Bisa sewa rumah, sewa mobil, sewa tas, aksesoris mahal, termasuk fenomena sewa pacar.
Konon orang-orang semacam ini kian meningkat. Konsumen yang besar terhadap benda-benda unik, spesifik, personalized. Generasi era digital menyebutnya sebagai pasar long tail.
Dengan pikiran konvensional, saya mencoba memahami pasar kebutuhan psikologis yang berkaitan dengan gengsi itu.
Model Bisnis Menjanjikan
Chris Anderson menuangkan konsep bisnis long tail dalam bukunya, "The Long Tail : Why the Future of Business Is Selling Less of More". Model usaha yang cenderung menjual produk sedikit atau fokus pada pasar niche. Maka perusahaan dengan berbagai produk memutuskan untuk menjual produk terlaris saja dan menjadikannya sebagai ceruk atau segmented niche market. (sumber).
Niche market adalah bagian dari industri dengan target pasar lebih spesifik atau lingkup konsumen tertentu yang lebih kecil. Dengan kata lain, niche market merupakan segmentasi dari mass market yang lebih luas.
Long tail berkebalikan dengan model industri produk massal berbiaya besar. Ia tidak memiliki batas ruang pajang dengan beban inventory-rendah. Contohnya, penjual musik daring Rhapsody versus Wal Mart. Layanan streaming itu menawarkan lebih dari 4 juta lagu. Satu hal yang tidak dapat ditandingi oleh Wal Mart dengan 60 ribu judul lagu, mengingat keterbatasan ruang display. (sumber).
Pada skala domestik, bisnis daster, hijab, atau reseller, misalnya, merupakan tandingan department store.
Selain mengatasi persoalan persediaan dan etalase, bisnis long tail juga menyediakan barang yang sangat personal. Tidak hanya menyediakan komoditas sama bagi banyak orang. Termasuk logistik untuk memenuhi kebutuhan pamer dan gaya hidup.
Dengan demikian bisnis sewa mobil mewah, sewa rumah megah, sewa tas branded, aksesoris mahal, sewa pacar menjadi sasaran empuk niche market dengan model bisnis long tail.Â
Sebuah pasar potensial bagi start-up ventures dan pelaku UMKM dalam pengembangan usahanya.
Gaya Hidup Memprihatinkan
Di balik fenomena tumbuhnya penyedia barang sewa untuk kebutuhan pamer, gaya hidup dan gengsi dalam rangka memperoleh pengakuan, ada hal yang memprihatinkan. Berhubungan dengan konsumen pengguna dengan beberapa masalah.
Seorang psikolog dari Q Consulting, Rena Masir menyebutnya sebagai gaya hidup hedonis. Aktivitas yang fokus kepada mencari kesenangan, dianut oleh sementara orang yang ingin terlihat "lebih" dibandingkan dengan orang lain. Pribadi yang biasanya selalu ingin menjadi pusat perhatian, senang menggunakan barang mewah dan memperoleh pelayanan khusus (sumber).
Selanjutnya Rena menyatakan, kondisi psikologis tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya:
- Peer Group Pressure. Suatu keinginan berpikir dan berperilaku serupa agar diterima oleh kelompoknya.
- Pengalaman Disepelekan. Mungkin saja awalnya seseorang hidup bersahaja, tetapi kemudian merasa banyak orang memandangnya dengan sebelah mata. Menyepelekannya. Agar pengalaman tersebut tidak terulang, ia mengubah gaya hidupnya agar mendapatkan pengakuan.
- Ingin Mendapat Perhatian. Bercermin kepada seseorang dengan gaya hidup mewah yang begitu diperhatikan, dilayani, dan diistimewakan. Maka motifnya agar mendapatkan perlakuan yang sama.
- Bawaan Karakter. Tidak memiliki konsep diri yang kukuh --rendah diri---sehingga cenderung menjadi pengikut orang bergaya hedonis. Mudah terbuai lalu mengikuti gaya hidup melampaui kemampuan.
Artinya, apabila kondisi psikologis ini tidak dikelola dengan elok, maka berpotensi menimbulkan masalah-masalah serius.Â
Misalnya: Memaksakan diri untuk mengadakan benda-benda selain dari kebutuhan utama; Berlaku emosional ketika tidak mendapatkan perhatian sesuai keinginan; Paling buruk adalah melakukan tindakan kriminal (pencurian, penggelapan, bahkan korupsi).
***
Jadi model bisnis long tail penyewaan barang-barang kebutuhan personal yang spesifik dan unik, merupakan peluang menjanjikan bagi pelaku usaha. Konsep usaha ini juga menjadi katup pelampiasan (release valve) pertikaian batin individual.
Sebaliknya ia menyimpan letupan-letupan yang memprihatinkan secara emosional, bahkan memicu perbuatan kriminal, bila tidak dikelola dengan cermat. Beda halnya dengan mereka yang memang telah mencapai tingkatan sosial cukup untuk hidup mewah.Â
Kalau tidak?
Lebih baik hidup nyaman dan aman dengan bersyukur atas segala karunia diberikan oleh Maha Pemilik Kekayaan. Berapa pun nilainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H