Begitu menutup telepon genggam, aku terpaksa meminta izin kepada atasan. Lalu secepat angin terbang ke rumah kontrakan.
"Aku tahu, kamu berat hati memberikan cinta seutuhnya," isak wanita yang sedang memasukkan baju-baju ke dalam koper.
"Aku carikan tempat lebih bagus. Jadi...."
"Sudahlah. Telah kuserahkan seluruh jiwa raga kepadamu, tapi kamu..."
Sampai bagian itu bibirku terkunci. Kegundahan bercampur sesal bercabang-cabang di dalam hati.
Aku tahu persis, resultan dari desakan-desakan pikiran untuk mencari jalan penyelesaian, tidak bakalan menundukkan hati wanita itu.
Rayuan dan senyum menawan, sebagai alat penakluk hati, tidak berlaku lagi bagi wanita berwajah ayu tersebut. Ia sudah terlalu muak! Tiada lagi pasal yang dapat membatalkan tangan lentiknya menutup koper.
Koper kesayangan. Koper berwarna cokelat terang yang dibawanya ketika pertama kali tiba.
Koper berwarna cokelat terang yang tadinya berisi harapan-harapan gadis bersahaja kepadaku. Mau tinggal di ruwetnya kota besar. Di rumah petak berbayar bulanan.
Ada banyak kebahagiaan dilewati di dalam sekat berukuran 3X6 m persegi itu. Di bawah genteng betonnya terdapat senda gurau, keceriaan, dan kehangatan, meski terasa terlalu panas manakala matahari tepat berada di atas kepala.
Secara umum, bangunan baru berdinding bersih, lantai keramik putih, rasanya cukup nyaman dan aman bagi kami berdua. Kendati aku tidak setiap saat dapat menemani. Salah satunya, karena kesibukan di kantor.
Terletak di pinggiran kota, lingkungan sekitar tidak terlalu padat. Warga kebanyakan adalah pendatang. Tidak terlalu usil terhadap kehidupan tetangga. Beda dengan penghuni di kompleks perumahan.
Bayar sewa cukup tiap bulan, sesuai dengan tanggal pertama kali masuk. Beda dengan hunian di kompleks, yang biasanya, harus membayar angsuran tiap awal bulan kepada bank.
Namun demikian, saat ini keuntungan-keuntungan tersebut tidak mampu menahan wanita kucintai pulang kembali ke kotanya. Kota kecil masih asri.
Berkumandang sebaris bait lagu di dalam kepala, pulangkan saja aku pada ibuku dan ayahku.)*
Mata sembab menunduk, "aku pamit."
Langit senja mengiringi wanita menenteng koper berwarna cokelat terang menuju mobil jemputan. Transportasi daring membawanya ke cakrawala berwarna lembayung.
Barisan awan putih menyingkir. Angin bertiup kencang, daun-daun dari pohon angsana berguguran. Mengotori permukaan bumi.
Langit redup menuntun matahari menuju kelam, melirik rasa sendu membayang di wajahku. Burung-burung menyanyikan lagu pilu. Aku segera berbalik, sebelum kelelawar keburu menyergap kepala pening.
Bukan kembali ke kantor. Sejenak aku ingin melupakan kertas-kertas menumpuk di meja kerja. Besok saja aku bereskan!
***
Aku memarkirkan mobil dengan rapi di carport. Aku hendak menggerendel pintu pagar, ketika sebuah bunyi sangat keras membentak.
"Gak usah digembok ....!!!!
Dari sebuah siluet nyaris menutup lebar pintu. Di latar belakang, semua lampu ruang tamu menyala. Terang.
Penuh tanda tanya aku menghampiri, "ada apa, Mah?"
Wanita itu histeris, "pilih aku atau dia..???"
Melalui celah di antara kusen kayu dengan tubuh menggunakan daster, ekor mataku terdampar pada sebuah koper berwarna cokelat terang.
Lantas langit malam menertawakan melankolia itu.
)*Â Lagu "Hati Yang Luka" dipopulerkan oleh Betharia Sonata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H