Ceritanya, tahun 1970-an di sebuah kota kecil di Jawa Timur, jumlah mobil dapat dihitung dengan jari. Mengendarai FIAT konde, kakek mengajak cucu-cucu berkeliling kota setiap sore.
Kakek adalah feodal sejati!
Selama perjalanan, mata harus menghadap ke depan. Dilarang tolah-toleh, sekalipun petugas polisi menghormat ke arah kakek di perempatan jalan tanpa lampu pengatur lalu lintas.
Bisa jadi kultur masyarakat saat itu memperkenankan sikap membedakan kelas.
Lha wong lewat jalan umum di depan rumah kakek, orang senantiasa membungkukkan badan, kendati tidak satu pun anggota keluarga berada di teras.
Bersama ibu, saya tinggal di rumah kakek-nenek selama dua tahun. Pada waktu bersekolah kelas 1 sampai 2 SD, ayah sedang melanjutkan pendidikan di luar negeri.
Pada zaman kuda gigit besi itu, kakek memiliki --kalau gak salah---tiga asisten rumah tangga (ART). Mereka merupakan tetangga dekat, sehingga bisa bekerja pulang hari.
Masing-masing memiliki "spesialisasi" kegiatan. Satu sebagai pendamping nenek di dapur. Satu mengepel, mencuci dan menyetrika pakaian. Satu lagi, laki-laki, membersihkan halaman yang lumayan luas.
Ditambah seorang masih belia. Anak laki-laki seumur siswa kelas 5 atau 6 SD selalu menemani setiap saya pergi ke atau pulang dari sekolah. Begitu pula ketika bermain di sekitar luar rumah kakek atau memasuki perkampungan.
Anak laki-laki tersebut terus-menerus berjalan di belakang, berjaga-jaga terhadap segala sesuatu. Belakangan saya baru tahu ia ditugaskan oleh nenek, khusus untuk mengawal dan mengawasi saya.
Anak laki-laki muda belia itu irit bicara. Sesekali bersuara rendah kepada warga yang bertanya-tanya. Setelah itu mereka berlaku takzim sambil berucap, "oh cucunya Den Arjeh.")*
Saya tidak tahu namanya. Anak siapa. Rumahnya di mana, juga sekolahnya. Ia demikian pendiam, tidak ada informasi apa pun yang dapat digali tentangnya.
Saya pun tidak pernah menanyakan perihal keberadaannya kepada kakek atau nenek.
Bisa jadi ia tidak bersekolah. Mengingat pada zaman itu lazim anak-anak bersahaja di perkampungan tidak mengenyam pendidikan.
Sampai sekarang masih menjadi misteri bagi saya. Hanya ingat perilaku dan kebaikannya.
Secara umum, anak laki-laki itu berlaku santun, ringan tangan, dan bertanggung jawab dalam melaksanakan tugas. Barangkali memang karakter umum ART tempo dulu. Setia.
Saya tidak pernah mendengar cerita kakek-nenek gonta-ganti ART. Termasuk ART belia tersebut.
Siapa pun ia, semoga saat ini senantiasa dikaruniai kesehatan dan kesejahteraan. Bila masih ada.
Demikian catatan (diary) selintas, pengalaman dikawal dan diawasi oleh ART belia ketika saya masih kecil.
)* Den Arjeh berasal dari julukan Raden Arya
Baca juga: Kenangan Manis Bersama ART Muda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H