Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menatap UMP 2022 dengan Menggunakan Sepatu Orang Lain

19 November 2021   20:58 Diperbarui: 19 November 2021   20:59 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Serikat pekerja unjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, menuntut kenaikkan UMP Jakarta 2022 sebesar 7-10 persen.(KOMPAS.com / VITORIO MANTALEAN)

Dua juta buruh mengancam mogok nasional dalam rangka menolak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2022 yang terlalu rendah, rata-rata 1,09 persen. Tidak sesuai dengan tuntutan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sebesar 7-10 persen dari UMP tahun lalu (sumber: ini dan ini).

Di sisi lain, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendukung keputusan pemerintah tersebut. Pengusaha menilai, ketetapan itu sudah mempertimbangkan tingkat pengangguran terbuka, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi (kompas.com).

Terinformasi, inflasi Oktober 2021: 0,21. Inflasi setahun: 1,66 persen. Sedangkan inflasi tahun ini: 0,93 persen (BPS).

Kenaikan rata-rata artinya tidak setiap provinsi sama. Keputusan akhir persentase kenaikan akan ditentukan oleh Gubernur masing-masing provinsi. Bagaimanapun, keputusan tersebut telah menyulut perbedaan reaksi. Kita tunggu saja kelanjutannya.

Entah berkaitan atau tidak dengan kecilnya kenaikan rata-rata UMP 2022, pandemi yang terdeteksi pada Maret 2020 berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Ditandai dengan kemerosotan industri pariwisata, retail, manufaktur, dan sektor UMKM. Anjloknya ekonomi dunia secara serius berimbas kepada turunnya ekspor produk Indonesia. Akhirnya proses investasi mengendur.

Lingkungan ekonomi makro yang kemudian mengancam perputaran roda dunia usaha: mekanisme pasar terganggu (penawaran, permintaan, supply chain), kurang lancar, tersendat-sendat, lalu sebagian darinya macet alias mengalami penutupan. Masalah umum yang kemudian menimpa masyarakat, seperti: terjadi PHK, penurunan daya beli. 

Singkatnya, pandemi telah memorak-porandakan fundamental ekonomi riil (pertumbuhan ekonomi, inflasi, defisit anggaran, defisit anggaran berjalan, keyakinan investor, dan lain-lain).

Ruwet kan? Biarkan para ahli dan orang-orang pandai memikirkan hal itu. Saya akan memandang UMP 2022 dengan dua cara. Menggunakan safety shoes (melambangkan buruh) dan sepatu pantofel (pengusaha). Keduanya masing-masing pernah saya coba pada masanya.

Menjadi Buruh

Pengalaman bekerja pertama kali adalah sebagai pegawai/karyawan/pekerja atau buruh pada perusahaan swasta nasional. Manajemen demikian bagus, mematuhi ketentuan-ketentuan pengupahan, ketenagakerjaan, dan perpajakan. Setiap tahun perusahaan menilai kinerja (performance appraisal) karyawan untuk dipertimbangkan peningkatan jenjang dan kenaikan upah umum sesuai cost of living adjustment (COLA).

Pada periode itu, sebelum 1998, tidak terdengar protes atau demonstrasi tahunan menuntut kenaikan upah. Tidak ada. Karena baru berniat unjuk rasa, sudah ditangkap tanpa dalih hukum apapun.

Setelah masa reformasi saya masuk ke entitas bisnis yang, untungnya, juga memerhatikan kaidah pengupahan, performance appraisal, peningkatan karier, COLA. Perusahaan menanggung dengan persentase tertentu: jaring pengaman sosial (d/h Jamsostek), pajak penghasilan karyawan, dan seterusnya. 

Tidak terdengar unjuk rasa menuntut kenaikan upah. Bisa jadi saya saja yang kurang pergaulan. :)

Menjadi Pengusaha

Pada masa transisi karier, alih profesi dari karyawan menjadi pengusaha, semua kegiatan usaha saya kerjakan sendiri. Sebagai pemodal, pelobi, buruh produksi, sopir pengantar, dan kasir penerima pembayaran. Gaji kurang, gak mungkin kan mengeluh kepada diri sendiri?

Baca juga: Bijak Menyikapi Pilihan Alih Profesi, dari Karyawan Jadi Pengusaha

Sampai kemudian memiliki karyawan. Di sinilah perjalanan menaiki jet coaster kelas bisnis dimulai.

Hasrat utama adalah menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, apa daya kekurangan sumber kekuatan (modal, pasar, karyawan pendukung) membatasi gerakan. Terutama ihwal pegawai. 

Pengusaha tidak dapat begitu saja semena-mena mengekploitasi tenaga kerja untuk menghasilkan laba semata. Ia harus memperhatikan kesejahteraan dengan penerapan pengupahan dan pendayagunaan karyawan, sesuai dengan aturan ketenagakerjaan.

Bahkan dalam keadaan sulit, saya harus mengalahkan ego dengan tidak mengantongi "gaji" demi memutupi upah para karyawan. Kalau perlu merogoh kantong dalam-dalam.

Karyawan perusahaan adalah aset paling berharga. Tanpanya, bisnis tiada daya. Oleh karena itu mereka harus dinyamankan dengan sistem pengupahan pantas.

Kecuali bagi pegawai yang berlaku kontra-produktif. Saya tidak segan-segan memberhentikannya. Sekali waktu saya digugat oleh pengacara mantan karyawan. Ia berdalih, perusahaan telah berbuat semena-mena.

Merasa benar, saya menyewa pengacara handal untuk melawannya. Hasilnya dapat ditebak: perusahaan saya menang di tingkat instansi ketenagakerjaan setempat.

Sebagai pengusaha, lumrah mendahulukan karyawan dengan mengindahkan peraturan berlaku. Baru setelah itu memerhatikan penjualan, permodalan, negosiasi dengan calon pembeli, sistem bisnis yang efektif, dan sebagainya.

Sekali lagi, karyawan adalah aset paling penting dalam perusahaan.

To Put Yourself in Someone Else's Shoes

Idiom berbahasa Inggris, bermakna seolah-olah menempatkan diri pada kondisi sulit menimpa pihak lain, agar memahami (kesulitan) apa sesungguhnya yang sedang dihadapi.

Pemahaman itu mengonstruksi pikiran alam bawah sadar saya, untuk lebih mempertimbangkan kepentingan karyawan ketika menjadi pengusaha. Saya tidak tahu bagaimana persisnya itu bisa terjadi.

Berbagai level pegawai memiliki cara, juga kesulitan, masing-masing dalam mengelola penghasilannya. Sebisa mungkin keadaan itu harus dipahami. Tidak harus berbentuk materi, pimpinan mendampingi mereka merupakan hal berharga.

Dengan terjun langsung, bersama karyawan berusaha mengendalikan kapal sampai ke tujuan. Kalau enggak, ya tenggelam bersama. Begitu cara saya sebagai pengusaha memahami problematika dihadapi pegawai perusahaan. 

Berupaya memakai sepatu orang lain (to be in another person's shoes). Pengusaha masa kini menatap UMP 2022 dengan memerhatikan bahwa, betapa buruh sekarang mengalami kesukaran dengan melonjaknya harga, misalnya.

Dasar pemikiran serupa mestinya dapat diterapkan oleh pegawai/karyawan/pekerja atau buruh pada perusahaan.

Karyawan menempatkan diri pada kondisi sulit menimpa pengusaha. Cara memutar roda usaha agar tidak tersendat dan tersesat di tengah situasi perekonomian yang belum pulih dari kemerosotan. Cara memperoleh investasi baru. Cara menyiasati mekanisme pasar yang terganggu. Dan seterusnya.

Pekerja masa kini menatap UMP 2022 dengan memerhatikan bahwa, betapa pengusaha sekarang mengalami kesulitan menyiasati fundamental ekonomi riil agar perusahaan mampu survive.

Kesimpulan

Menatap UMP 2022, pengusaha dan pekerja seyogianya sama-sama menggunakan sepatu para pihak satu sama lain (putting themselves in someone else's shoes). Demikian agar memahami kesulitan yang sedang dihadapi masing-masing pihak. 

Idealnya begitu.

Kesepahaman bersama yang membawa kapal berhasil melintasi badai pandemi, dan tiba dengan selamat di dermaga kesejahteraan.

Apabila tidak? Ya karam bersama-sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun