Pada periode itu, sebelum 1998, tidak terdengar protes atau demonstrasi tahunan menuntut kenaikan upah. Tidak ada. Karena baru berniat unjuk rasa, sudah ditangkap tanpa dalih hukum apapun.
Setelah masa reformasi saya masuk ke entitas bisnis yang, untungnya, juga memerhatikan kaidah pengupahan, performance appraisal, peningkatan karier, COLA. Perusahaan menanggung dengan persentase tertentu: jaring pengaman sosial (d/h Jamsostek), pajak penghasilan karyawan, dan seterusnya.Â
Tidak terdengar unjuk rasa menuntut kenaikan upah. Bisa jadi saya saja yang kurang pergaulan. :)
Menjadi Pengusaha
Pada masa transisi karier, alih profesi dari karyawan menjadi pengusaha, semua kegiatan usaha saya kerjakan sendiri. Sebagai pemodal, pelobi, buruh produksi, sopir pengantar, dan kasir penerima pembayaran. Gaji kurang, gak mungkin kan mengeluh kepada diri sendiri?
Baca juga: Bijak Menyikapi Pilihan Alih Profesi, dari Karyawan Jadi Pengusaha
Sampai kemudian memiliki karyawan. Di sinilah perjalanan menaiki jet coaster kelas bisnis dimulai.
Hasrat utama adalah menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya, apa daya kekurangan sumber kekuatan (modal, pasar, karyawan pendukung) membatasi gerakan. Terutama ihwal pegawai.Â
Pengusaha tidak dapat begitu saja semena-mena mengekploitasi tenaga kerja untuk menghasilkan laba semata. Ia harus memperhatikan kesejahteraan dengan penerapan pengupahan dan pendayagunaan karyawan, sesuai dengan aturan ketenagakerjaan.
Bahkan dalam keadaan sulit, saya harus mengalahkan ego dengan tidak mengantongi "gaji" demi memutupi upah para karyawan. Kalau perlu merogoh kantong dalam-dalam.
Karyawan perusahaan adalah aset paling berharga. Tanpanya, bisnis tiada daya. Oleh karena itu mereka harus dinyamankan dengan sistem pengupahan pantas.
Kecuali bagi pegawai yang berlaku kontra-produktif. Saya tidak segan-segan memberhentikannya. Sekali waktu saya digugat oleh pengacara mantan karyawan. Ia berdalih, perusahaan telah berbuat semena-mena.