Dipetik dari kompas.com, bahkan almarhum Gus Dur, dalam sebuah diskusi di Bentara Budaya Jakarta 31/8/2006, menyatakan kekaguman kepada beliau dengan mengungkapkan:
Di Indonesia hanya ada tiga polisi yang baik: pertama, mantan Kepala Polri, almarhum Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Kedua, patung polisi, dan ketiga adalah polisi tidur -- Gus Dur
Akan tetapi, mengutip ujaran itu dan menempelkannya di dinding FB, membuat seseorang pria dipanggil ke kantor polisi pada Juni 2020 untuk dimintai keterangan. Insiden tersebut menggambarkan, betapa tidak populer sosok Hoegeng di mata polisi generasi sekarang. Apalagi di kalangan masyarakat masa kini?
Hoegeng adalah pejabat publik, tokoh yang tidak melakukan penyelewengan jabatan. Dalam satu webinar yang diselenggarakan oleh Kompas, Guntur Soekarnoputra menuturkan kejujuran luar biasa dari Hoegeng.
Ketika bertugas sebagai pejabat polisi di Sumatera Utara, ia menolak tawaran rumah dan mobil dari cukong judi. Bahkan tidak mau menerima seperangkat mebel baru dari seorang pengusaha, dan menaruhnya begitu saja di tepi jalan depan rumah.
Mas Tok, sapaan akrab Guntur, juga mengisahkan, Hoegeng menampik permintaan Presiden pertama RI. Pejabat negara tersebut dengan tegas menafikan permintaan Soekarno, agar meloloskan pemasukan barang impor untuk mengisi rumah salah satu istri orang nomor satu tersebut. Satu ketegasan yang mustahil bagi pejabat publik pada zaman sekarang.
Apakah Soekarno marah, lalu mencopot Hoegeng dari jabatannya?
Guntur meyakinkan pemirsa: tidak sama sekali! Bahkan beliau menghargai ketegasan Hoegeng.
Ada satu peristiwa mengharukan, ketika Hoegeng meminta sopirnya untuk menjual sepasang sepatunya di Pasar Rumput, Manggarai, Jakarta, demi memperoleh sejumlah uang.
Dalam periode kekuasaan rezim berikutnya, Jenderal Polisi tersebut menyingkir (atau dipinggirkan?) dari hiruk pikuk kekuasaan.Â
Ia menolak tawaran sebagai Dubes, dan menyalurkan kemampuan bermusik dengan Grup Hawaiian Senior di satu-satunya stasiun TV. Namun tayangan Irama Lautan Teduh itu dihentikan pada awal tahun 1980 (kalau tidak salah), dengan alasan tidak masuk akal.
Konon hal itu terjadi setelah Hoegeng menandatangani Petisi 50 yang mempertanyakan kepemimpinan Soeharto.