Perilaku sesat, dengan menyelewengkan uang negara atau perusahaan demi keuntungan pribadi atau kelompok sendiri, telah berlangsung sejak peradaban kuno (1200 SM).
Di Indonesia, terjangan gelombang manipulasi itu berproses semenjak era kerajaan, kemudian berlarut-larut sampai ke masa penjajahan, Orde Lama, Orde Baru, hingga sekarang. Demikian kukuhnya perbuatan korupsi, sehingga pada awal tahun 1980-an Prof. Sumitro Joyohadikusumo menyebut, bahwa 30 persen dana APBN digelapkan. (kemenkeu.go.id)
Saking mengguritanya perbuatan buruk itu, maka UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merumuskan 30 bentuk/jenis korupsi. Untuk mengetahui lebih rinci, silakan baca di sini.
Sebagian masyarakat akhirnya bersikap permisif terhadap kegiatan pencurian uang negara (baca: uang keringat rakyat) dan penyalahgunaan jabatan. Di dalam UU, suap termasuk tindak korupsi. Saya pernah melakukan tindakan curang dengan menyuap segelintir pejabat publik.
Sudah menjadi rahasia umum, dalam perolehan proyek pemerintah --penunjukan langsung maupun melalui proses lelang-- seorang pemborong harus menyogok sekian persen dari nilai pekerjaan. Begitu juga dalam pelaksanaan, dari mulai pengawasan sampai dengan penagihan, memerlukan amplopan. Itu pun belum terhitung pemberian gratifikasi.
Baca juga: Negara Amplop
Sebagian orang menganggap lumrah, jabatan publik adalah alat untuk memperkaya diri dengan menyalahgunakan kewenangannya. Begitu halnya dengan sedikit wakil rakyat. Kemudian saya dan sebagian dari kita memaklumi perilaku curang tersebut terjadi pada nyaris semua lapisan.
Betapa tidak berdaya, saat saya mendengar keluhan seorang penjual nasi uduk. Bantuan Langsung Tunai (BLT) UMKM senilai Rp1,2 juta dipotong untuk "uang lelah" oleh Ketua RW setempat. Itu salah satu misal dari berjibunnya perilaku korup. Cari sendiri dah contoh lainnya.
Ringkasnya, saat ini kita perlu sosok atau tokoh pejabat negara yang bersih dari perilaku korupsi. Utopis? Mimpi?
Bisa iya, bisa tidak.
Salah satu munculnya nuansa anomali dalam bianglala korupsi di Indonesia, adalah lahirnya seorang pria pada bulan Oktober 1921 di Pekalongan, Jawa Tengah. Perilaku selama berkarier menjadi pejabat publik, tidak terkontaminasi virus tindakan penyelewengan hingga akhir hayatnya.