Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pertimbangan Sebelum Mengirim Orang Tua Lansia ke Panti Jompo

3 November 2021   21:00 Diperbarui: 3 November 2021   21:01 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seusai peresmian sebuah restoran bergaya Jepang di Kerobokan, Bali, tahun 2000, seorang klien yang juga kawan baik mengajak saya menjadi manajer lapangan (site manager) proyek pembangunan panti jompo. 

Bukan sembarang tempat penampungan, tapi suatu kompleks pondok terletak di suatu daerah sejuk di Bali, yang kelak ditinggali oleh lansia warga Jepang.

***

Pengalaman bersekolah dan bekerja di negara matahari terbit membuat kawan tersebut fasih berbahasa Jepang. Bukan hanya itu, kawan berperawakan dan berkulit khas Indonesia tersebut juga memiliki koneksi luas di negara kepulauan yang terletak di ujung barat Samudera Pasifik.

Takheran apabila ia menetapkan rumah makan bergaya Jepang dengan chef asli dari negara itu sebagai model bisnisnya. Pun bukan pemikiran sekonyong-konyong ketika merencanakan pendirian kompleks penampungan untuk lansia Jepang.

"Ini bisnis bagus. Pasarnya besar!"

Menurutnya, warga Jepang terbiasa mengirim orang tua lansia ke tempat penitipan. Selain itu berkembang pula jasa perawatan lansia. Pulang hari atau menginap. Maka penyewaan ruang di panti jompo dan jasa caregiver menjadi marak.

Perkembangan tersebut dipicu oleh kian sibuknya kaum urban produktif dan sempitnya lahan untuk membangun extended family. Yakni keluarga besar di dalam satu rumah, terdiri dari beberapa generasi meliputi orang tua biologis, juga kakek-nenek, cucu, bibi, paman, keponakan, dan seterusnya.

Di negara empat musim itu, di mana kemajuan teknologi dan keindahan alam bersanding, lumrah ditemui beberapa jenis panti jompo dan perawat lansia.

Sarana disediakan oleh panti penampungan lansia bak fasilitas di hotel. Lengkap. Sehingga panti jompo merupakan tempat nyaman bagi lansia menikmati hidup, bersosialisasi bersama teman sebaya.

Masyarakat Jepang juga tidak merasa sebagai aib ketika menitipkan anggota keluarganya di panti jompo.

(Selengkapnya dapat dibaca di sini).

Demikian cetak-biru yang diidamkan oleh sang kawan. Dengan kemampuan berbahasa Jepang dan koneksi bagus, ia meyakini bahwa bisnis panti jompo di Bali akan menarik minat warga Jepang.

Namun saya tidak bisa memenuhi permintaannya, ada komitmen lain di Jakarta. Sampai sekarang saya tidak tahu perkembangannya.

Maksud saya, kultur masyarakat negara kepulauan Asia Timur itu mengarifi penitipan orang tua kepada panti jompo. Mereka dapat melaksanakan kegiatan produktif tanpa mengkhawatirkan perawatan orang tua.

Sementara di sini berlaku kaidah: merawat lansia merupakan tanggungjawab anak atau keluarga besar. Alternatif menitipkan orang tua ke panti jompo menjadi kurang populer. Kalaupun ada, dilakukan dengan diem-diem bae.

Jangan sampai keburu ramai, seperti berita viral baru-baru ini.

Seorang wanita berusia 69 tahun diajak mencari angin oleh tiga anak kandungnya. Bukan kesenangan didapat, lansia berkursi roda itu ditinggalkan di sebuah panti jompo. 

Meski memendam kekecewaan, ibu tersebut senantiasa mendoakan tiga anaknya agar dilimpahkan rezeki dan kesehatan.

(Selanjutnya dapat dibaca di sini).

Di luar perbalahan antar-warganet sebagai reaksi atas berita di atas, ada hal bisa dipetik.

Tindak penitipan lansia (baca: orang tua kandung) di panti jompo adalah pilihan terbaik paling akhir, dengan pertimbangan-pertimbangan:

  1. Meminta kesediaan tulus (bukan dengan cara dibohongi) dari orang tua bersangkutan. Tanpa itu, lupakan ihwal penitipan lansia ke panti jompo. Selesai sampai di sini.
  2. Memiliki kesempatan sempit, terjepit dalam kondisi ekonomi teramat sulit, kesibukan luar biasa, dan hal-hal penyebab lengah dalam merawat orang tua.
  3. Sama sekali tidak memiliki keluarga besar sedarah (Extended Family) untuk merawat.
  4. Memilih tempat perawatan terbaik dengan fasilitas lengkap, meliputi penyelenggaraan kebutuhan fisik-psikis dan menyediakan ruang berkegiatan agar lansia tetap bugar.
  5. Memastikan panti jompo dipilih bersuasana sosial sebaya menyenangkan juga menyehatkan.
  6. Sanggup memenuhi persyaratan ditentukan oleh pihak pengelola panti jompo.
  7. Berkomitmen (berjanji kepada diri sendiri) untuk secara rutin menjenguk orang tua di tempat penitipan, agar ikatan batin tetap terjalin.

Itu 7 pertimbangan sebelum mengirim orang tua lansia ke panti jompo. Pandangan tersebut juga telah dipikirkan matang-matang. 

Masing-masing pertimbangan tidak berdiri sendiri. Ia merupakan satu kesatuan utuh.

Beruntung, kami bersaudara tidak terjebak dalam keruwetan pikir ihwal panti jompo. Kami sempat merawat kedua orang tua sampai dengan kepulangan mereka ke tempat paling abadi.

Perlu diingat juga: waktu kita masih kecil, tidak pernah sekalipun orang tua berpikir untuk menitipkan anak-anaknya ke Panti Anak. Saya meyakini itu!

Bagaimana dengan Anda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun