Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Pekerja Informal

31 Oktober 2021   08:59 Diperbarui: 31 Oktober 2021   19:19 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi parkir mobil di jalan, di kawasan Pasar Lama.(KOMPAS.COM/VITORIO MANTALEAN)

Kejadian pada satu waktu yang sangat lampau. Sorang kolega kantor meminjamkan BMW seri 3. Beruntung. Saat itu mobil kantor yang dipercayakan kepada saya, masuk bengkel.

Ketika itu jalan masih lancar, sehingga menggunakan mobil mewah penjelajahan terasa nyaman. Tiba di satu kota kecil, saya berhenti makan. Memarkir kendaraan di tempat mudah terlihat.

Baru saja duduk, terlihat seorang pria berkaos oblong bolong-bolong membawa seember air. Tangan satunya menenteng lap basah. Tanpa aba-aba, ia melap mobil.

Sontak saya menghambur, "Jangan! Gak usah dibersihkan."

Kekhawatiran dalam hati, air dan lap tidak dijamin kebersihannya. Bisa-bisa cat mobil masih baru tergores. Berabe pula awak. Lagi pula, kelak mobil akan dibersihkan di bengkel khusus cuci mobil, sebelum dikembalikan.

Untuk sementara peristiwa itu mereda. Pria bercelana pendek terdiam di bawah pohon angsana.

Seusai menyelesaikan pembayaran, saya segera beranjak pergi. Ketika hendak memundurkan kendaraan, ada suara.

"Yak, terus, terus, terus. Kosong...!"

Pria itu lagi. Tadi tukang lap mobil pengunjung rumah makan. Sekarang tukang parkir.

Tiada pula recehan, terpaksa saya menyorongkan selembar uang (sekitar Rp20 ribu untuk ukuran sekarang), berharap kembalian.

Sambil memegang lembaran diberikan, pria tadi menunduk khidmat dan berucap, "Nuhun gan. Hatur nuhun pisan." (Bahasa Sunda: terima kasih juragan. Terima kasih banyak).

Antara kesal dan menahan ketawa, saya segera menekan pedal gas sedalam-dalamnya. Ban belakang berdecit-deci menggaruk aspal. Meninggalkan deru dan debu.

Situasi tersebut menghadirkan dilema. Pilihan sulit antara meminta kembalian atau mengikhlaskannya. Preferensi membingungkan antara memberi imbalan atau tidak atas jasa yang sesungguhnya tidak begitu diperlukan.

Dilema semacam itu terjadi dalam berbagai peristiwa, semisal menghadapi: pengamen, Pak Ogah, dan seterusnya.

Namun hal jauh lebih dilematis, dihadapi oleh pekerja informal itu sendiri. Bagaimana tidak?

Pilihan untuk memperoleh pendapatan demikian terbatas. Nyaris tiada jeda yang akhirnya membuat kelompok sosial ini terjebak dalam lubang fatalisme. Terdapat pemahaman bahwa hidupnya telah dikuasasi oleh nasib. Tak mungkin diubah. Pun mustahil beradaptasi dengan perubahan.

Itu barangkali yang ada di kepala sebagian pekerja informal.

Kisah sekarang. Awalnya, di ujung satu jalan kecil mangkal empat atau lima becak. Menunggu penumpang. Mereka berjaya manakala sepeda motor belum menyemut. Penghasilan sebagai tukang becak mampu menghidupi keluarga. 

Namun perkembangan zaman lebih cepat daripada antisipasi terhadap perubahan. Para tukang becak adalah pekerja informal (sesuai keterangan di sini) yang ditinggal kereta kemajuan (modernisasi?).

Ilustrasi becak dan perubahan (dokumen pribadi)
Ilustrasi becak dan perubahan (dokumen pribadi)

Cara-cara baru mendapatkan penghasilan amat beragam, tergantung kreatifitas dan sumber daya dimiliki, seperti pendidikan, pengetahuan, akses informasi, uang, lingkungan. Modal itulah yang tidak dipunyai (atau merasa tidak memiliki) oleh sebagian pekerja informal.

"Bagaimana lagi? Sepi penumpang! Udah pada punya motor, juga banyak ojol. Terima nasib aja," keluh Pak Usman, tukang becak itu.

Sementara koleganya, pekerja informal juga yang biasanya nongkrong bareng, sekarang menjadi tukang parkir di seberang, halaman sebuah toko penjualan barang kebutuhan sehari-hari.

Anggapan tertanam adalah, hidup mereka dikuasai oleh nasib. Bukan sikap pasrah. Adaptasi atas perubahan-perubahan enggan mereka lakukan. Kehidupan yang sudah diberikan (given) begitu adanya.

Saat ini tukang becak mangkal di ujung jalan tinggal satu. Itupun merangkap sebagai pemulung botol plastik. Bukan pemulung elit berskema return bottle empty, seperti disampaikan oleh Pak Tjiptadinata Effendi dalam: Pengalaman Returns Empty Bottle yang Unik

Satu lagi beralih profesi menjadi tukang parkir di seberang jalan. Lainnya entah ke mana. Bisa berputar dalam lingkungan pekerjaan sektor informal.

Artinya, pilihan pekerja informal untuk memperoleh penghasilan amatlah terbatas. Dunianya berada di seputar sektor informal, meski berbeda bidang kegiatan.

Itulah dilema yang dihadapi oleh pekerja informal, tukang becak di depan mata saya. Barangkali miniatur persoalan tersebut tidak serta merta dapat digeneralisasi, menjadi fenomena umum yang dihadapi pekerja sektor informal di seluruh Indonesia.

Kepada pemerintah, secara normatif, saya hanya mampu mengelintirkan sahutan terhadap gejala setempat tersebut:

  1. Menciptakan lapangan pekerjaan lebih banyak lagi.
  2. Menginventarisir jumlah maupun motivasi pekerja informal. Bukan untuk tujuan karitatif, tetapi untuk menemukan (invent, innovate) terobosan baru.
  3. Memberikan edukasi dan pelatihan dalam rangka menyikapi perubahan.
  4. Dan proposisi ideal (moga-moga bukan utopis) lainnya.

Bagi saya. Bagi kita. Seyogianya mulai menghilangkan dilema. Mengabaikan pilihan antara perlu atau tidak atas keberadaan pekerja informal. Lalu mengikhlaskan seribu dua ribu. Membantu sewajarnya kepada mereka.

Atau pembaca memiliki gagasan lebih elok dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pekerja informal?

Mari...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun