Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Journalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Dilema Pekerja Informal

31 Oktober 2021   08:59 Diperbarui: 31 Oktober 2021   19:19 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi parkir mobil di jalan, di kawasan Pasar Lama.(KOMPAS.COM/VITORIO MANTALEAN)

"Bagaimana lagi? Sepi penumpang! Udah pada punya motor, juga banyak ojol. Terima nasib aja," keluh Pak Usman, tukang becak itu.

Sementara koleganya, pekerja informal juga yang biasanya nongkrong bareng, sekarang menjadi tukang parkir di seberang, halaman sebuah toko penjualan barang kebutuhan sehari-hari.

Anggapan tertanam adalah, hidup mereka dikuasai oleh nasib. Bukan sikap pasrah. Adaptasi atas perubahan-perubahan enggan mereka lakukan. Kehidupan yang sudah diberikan (given) begitu adanya.

Saat ini tukang becak mangkal di ujung jalan tinggal satu. Itupun merangkap sebagai pemulung botol plastik. Bukan pemulung elit berskema return bottle empty, seperti disampaikan oleh Pak Tjiptadinata Effendi dalam: Pengalaman Returns Empty Bottle yang Unik

Satu lagi beralih profesi menjadi tukang parkir di seberang jalan. Lainnya entah ke mana. Bisa berputar dalam lingkungan pekerjaan sektor informal.

Artinya, pilihan pekerja informal untuk memperoleh penghasilan amatlah terbatas. Dunianya berada di seputar sektor informal, meski berbeda bidang kegiatan.

Itulah dilema yang dihadapi oleh pekerja informal, tukang becak di depan mata saya. Barangkali miniatur persoalan tersebut tidak serta merta dapat digeneralisasi, menjadi fenomena umum yang dihadapi pekerja sektor informal di seluruh Indonesia.

Kepada pemerintah, secara normatif, saya hanya mampu mengelintirkan sahutan terhadap gejala setempat tersebut:

  1. Menciptakan lapangan pekerjaan lebih banyak lagi.
  2. Menginventarisir jumlah maupun motivasi pekerja informal. Bukan untuk tujuan karitatif, tetapi untuk menemukan (invent, innovate) terobosan baru.
  3. Memberikan edukasi dan pelatihan dalam rangka menyikapi perubahan.
  4. Dan proposisi ideal (moga-moga bukan utopis) lainnya.

Bagi saya. Bagi kita. Seyogianya mulai menghilangkan dilema. Mengabaikan pilihan antara perlu atau tidak atas keberadaan pekerja informal. Lalu mengikhlaskan seribu dua ribu. Membantu sewajarnya kepada mereka.

Atau pembaca memiliki gagasan lebih elok dalam rangka meningkatkan kualitas hidup pekerja informal?

Mari...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun