Sambil memegang lembaran diberikan, pria tadi menunduk khidmat dan berucap, "Nuhun gan. Hatur nuhun pisan." (Bahasa Sunda: terima kasih juragan. Terima kasih banyak).
Antara kesal dan menahan ketawa, saya segera menekan pedal gas sedalam-dalamnya. Ban belakang berdecit-deci menggaruk aspal. Meninggalkan deru dan debu.
Situasi tersebut menghadirkan dilema. Pilihan sulit antara meminta kembalian atau mengikhlaskannya. Preferensi membingungkan antara memberi imbalan atau tidak atas jasa yang sesungguhnya tidak begitu diperlukan.
Dilema semacam itu terjadi dalam berbagai peristiwa, semisal menghadapi: pengamen, Pak Ogah, dan seterusnya.
Namun hal jauh lebih dilematis, dihadapi oleh pekerja informal itu sendiri. Bagaimana tidak?
Pilihan untuk memperoleh pendapatan demikian terbatas. Nyaris tiada jeda yang akhirnya membuat kelompok sosial ini terjebak dalam lubang fatalisme. Terdapat pemahaman bahwa hidupnya telah dikuasasi oleh nasib. Tak mungkin diubah. Pun mustahil beradaptasi dengan perubahan.
Itu barangkali yang ada di kepala sebagian pekerja informal.
Kisah sekarang. Awalnya, di ujung satu jalan kecil mangkal empat atau lima becak. Menunggu penumpang. Mereka berjaya manakala sepeda motor belum menyemut. Penghasilan sebagai tukang becak mampu menghidupi keluarga.Â
Namun perkembangan zaman lebih cepat daripada antisipasi terhadap perubahan. Para tukang becak adalah pekerja informal (sesuai keterangan di sini) yang ditinggal kereta kemajuan (modernisasi?).
Cara-cara baru mendapatkan penghasilan amat beragam, tergantung kreatifitas dan sumber daya dimiliki, seperti pendidikan, pengetahuan, akses informasi, uang, lingkungan. Modal itulah yang tidak dipunyai (atau merasa tidak memiliki) oleh sebagian pekerja informal.