Ah, kenapa pikiran ke arah si Raja Minyak ya?
Dimas mengibaskan telapak tangannya, mengusir benak yang ikut nyinyir, mengingat besok ada acara keluarga besar berwisata ke luar kota. Mumpung PPKM sedang dilonggarkan.
Keluarga besar mengharapkan sumbangsih Dimas dalam acara dimaksud. Sebagaimana diteruskan oleh istri Dimas. “Ayo, Pah! Sekali ini Papah harus berkontribusi, apakah berupa satu dua kendaraan minibus sewaan atau traktiran makanan dalam perjalanan. Mosok Raja Minyak jadi andalan mulu?”
Dimas menghela napas. Ini tanggal tua. Gajian masih sepuluh hari lagi. Pos pengeluaran apa yang harus dikorbankan? Cicilan mobil? Cicilan motor? Kasbon ke kantor? Ngutang ke kolega? Atau mengorbankan biaya makan selama sepuluh hari ke depan?
Menghela napas --berharap tak kembali-- Dimas tambah puyeng memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang lebih sangat mungkin sulit dilakukan.
Matahari senja mengetuk jendela samping dengan manja. Tiba saat pulang. Tumpukan kertas sudah hilang. Dimas kembali pening, keengganan untuk kembali ke rumah merayapi dada. Berkedut. Terasa ngilu juga pilu.
Hingga sebuah berita menggembirakan, sekaligus menggemparkan, membuat Dimas bergegas menghidupkan mobil. Sonder menunggu mesin cukup panas, ia menekan pedal gas sedalam-dalamnya. Ingin menemui istri selekas-lekasnya.
Aum mesin memutar roda berdecit-decit menggaruk aspal, meninggalkan jejak panjang. Bau karet terbakar, debu berhamburan memasuki pos jaga mengisi cangkir kopi mengepul-ngepul.
“Sontoloyo...! Gerutu Satpam dalam hati.
Meninggalkan mobil dengan pintu terbuka, Dimas membentangkan pintu ruang tamu, ”Mamah, Mamah. Pindahkan film Drakor ke saluran TV Berita!”
“Tanggung. Lagi asyik nih ...”