Dimas tersedak menelan potongan telur ceplok setengah matang, “lupakan soal kelola uang bulanan. Mereka tak kenal tanggal tua, setiap hari adalah tanggal muda.”
Suapan terakhir nasi goreng keasinan bukan penanda usainya kicauan, tapi merupakan awal repetan berkepanjangan tak berkesudahan, “masak, pangkat sama. Beban sama. Mestinya gajinya pun sama. Tapi gaya hidup mereka lebih-lebih dari kita.”
Pria berperawakan kurus itu beranjak, membawa piring kosong ke dapur. Sekembalinya, ia disambut nyanyian pagi yang berkumandang berkali-kali setiap hari. Dimas garuk-garuk kepala, kerabatnya belum lama diangkat, mengapa ia lebih makmur ya?
Sebelum terlanjur tertahan oleh omelan lebih panjang pun lebih lebar tanpa jeda, Dimas menyambar tas kerja menuju pintu, menghidupkan mobil. Sonder menunggu mesin panas, ia menarik tuas persneling ke arah kakinya, melepaskan rem tangan dan pedal kopling. Mundur, kemudian mengarahkan muka mobil ke jalan menuju kantor
Aum mesin memutar roda berdecit-decit menggaruk aspal, meninggalkan jejak panjang. Bau karet terbakar, debu berhamburan mengisi cangkir kopi mengepul-ngepul di teras depan rumah tetangga sebelah.
“Sontoloyo...!!! Semprot Pak Tarjo.
Sudah dapat dipastikan Dimas tidak mendengar makian dari dalam kabin. Raungan mesin, bentakan gigi transmisi, decit-decit ban, bagi Dimas terdengar jauh lebih menenangkan daripada mengindahkan omelan istri juga makian tetangga.
Persoalan demi persoalan berkobar tidak lama setelah iparnya naik jabatan selaku Kepala Bidang Sarana dan Prasarana (Kabid Sarpras) sebuah Dinas Basah (Dinbas) di Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemkab) Nganu. Berbeda instansi, Dimas menyandang jabatan sebagai Kepala Bidang Pelatihan Pegawai Baru (Kabid PPB) di Dinas Kering (Dinker).
Kedudukan setara. Pangkat sama. Gaji mestinya sama. Mengapa ia lebih kaya?
Mobil iparnya, tiga. Suami mengendarai SUV luks. Sedan kecil buatan Eropa untuk istri dan jip untuk mengantar anak kuliah. Sedangkan Dimas? Satu unit MPV sejuta umat dan satu sepeda motor untuk anak Dimas.