"Tentu saja, bego)*"! Pakai cara ini, bukan yang itu! Mosok begini aja gak bisa?"
Aku melontarkan umpatan. Jengkel dengan otak Kasto yang bebal. Menyelesaikan hitungan sederhana semacam itu bisanya hanya garuk-garuk kepala. Bukannya berpikir lalu menuliskan barang sesuatu sesuai dicontohkan oleh Bu Guru di papan tulis kelas.
Kutarik buku tulis tanpa sampul .... Duh, padahal Bu Guru berkali-kali menyuruh murid-murid agar menyampuli buku-buku dengan kertas berwarna cokelat.Â
Kutarik buku tulis tanpa sampul itu dari pandangan begonya. Aku menulis angka-angka, di antara gambar palang dan sesudah menggaris jajar dua.
Mudah bagiku. Susah baginya.
Selain memiliki akal terlalu kecil, Kasto juga dekil. Kemeja putih --di mana bagian terbesarnya berwarna terlampau krem, malah kuning di bawah ketiak-- setiap hari dipakainya ke sekolah.
Celana pendek yang seharusnya bernuansa gelap, pudar pada beberapa lipatan. Lebih parahnya, telapak kakinya tidak tertutup kasut, atau setidaknya sandal jepit sebagaimana beberapa bilang siswa lain.
Oh ya perlu diketahui, sekolah dasar yang aku ceritakan bukan berada pada zaman sekarang, pada mana seragam putih bersih dan celana pendek merah cenderung marun. Murid-murid berseragam berbeda corak dan warna satu sama lain.
Dan pastinya anak-anak sekolah pada masa kini, umumnya, bersepatu. Di zaman kuda masih gigit besi tidak semua anak SD beralas kaki.
Namun demikian, di balik keluguannya Kasto menyimpan bakat luar biasa tidak terkira oleh siapa saja. Anak petani buah bengkuang --tepatnya umbi berwarna putih-- itu teramat pandai menggambar. Bukannya aku melebihkan, tapi senyatanya benar apa adanya bahwa Kasto dilimpahi karunia yang jarang didapat oleh anak lain.