Dua sejoli sedang kasmaran menyusuri jalan setapak tersusun dari batu-batu beton berbentuk kotak di tepi bulevar. Sepasang kekasih saling memadu rindu, menumpukan ingatan kepada lalu lalang kendaraan di sekitar.
Pria melingkarkan tangannya ke bahu wanita. Bercerita dengan gegap gempita perihal burung-burung berceloteh, pohon-pohon berjoget, bunga-bunga, cahaya bintang-bintang, senja, dan purnama. Pria berkumis tipis menghamburkan segala rayuan pulau kelapa, demi menyejukkan hati sang wanita yang sedang membara dalam cucuran peluh.
"Capek tau, Kangmas! Dari tadi jalan kaki. Tujuan tak lekas tercapai."
"Sabarlah, Adinda. Sebentar lagi kita tiba."
"Itu pernyataan ketujuh yang aku dengar. Basah baju menempel ke kulit. Kedua tungkai penopang tubuh gemetar."
"Sabar, sabar, Adindaku tersayang."
Sang wanita segera menukas, "sabar memang sabar, tapi kapan beli sepeda motor yang Kangmas ceritakan? Jangan cuma berjanji, seperti janji pembangunan di zaman Orde Baru!"
Sang pria tercenung, melamun. Ingatannya terbang menuju perbincangan dengan kawannya beberapa purnama lalu.
"Masih ada gak ya, ergh ...?"
Sang wanita memenggal lidah, "maksudmu? Motor dengan knalpot telo yang sering kau ceritakan? Kapan? Jangan lama-lama!"