Demikian pula halnya dengan korporasi raksasa yang disebut negara. Resultan dari kinerja baik dari berbagai komponen terkait, menjadi keuntungan negara yang disebut kemakmuran.
Mestinya, para pekerja yang digaji negara bertanggung jawab atas amanat diembannya.
Rasa-rasanya, Undang-undang dan peraturan mengatur perihal tindakan indisipliner Aparat Sipil Negara (baca: karyawan) berikut sanksinya telah lengkap. Bila dijabarkan, artikel ini melulu akan terdiri dari daftar panjang peraturan dan pembahasannya.
Tidak begitu.Â
Ulasan hanya menyoroti kondisi praksis kepatuhan sementara ASN, terhadap peraturan "perusahaan" di lingkungan tertentu. Juga bukan hasil riset serius, tapi merupakan pengamatan sederhana yang tidak mengikuti kaidah keilmuan baku.Â
Di lingkungan tempat yang saya tinggali saat ini, terdapat belasan kantor balai penelitian sebuah kementerian negara. Di dalamnya tersembul ribuan pegawai. Sebagian darinya bisa dipandang melakukan tindakan indisipliner.
Seorang karyawan wanita setiap pukul tujuh pagi mengendarai sedan mungil menuju sebuah balai penelitian. Rajin. Setengah jam kemudian ia pulang. Memasak dan mengurus cucu. Pukul setengah sepuluh-an, wanita itu kembali ke kantor.
Begitu setiap hari selama bertahun-tahun. Sepertinya tiada yang menegur atau penerapan sanksi terhadap tindakan indisipliner itu.
Fakta lain, beberapa ASN pria nongkrong di tangga kantor kosong. Menghabiskan waktu dengan bercengkerama, ngopi-ngopi, makan gorengan, pecel, atau bubur. Baru bubar setelah matahari mulai naik atau bila ada penugasan.
Kasus berbeda, seorang kerabat yang berkantor di salah satu balai berkisah, sebagai peneliti ia mengalami kesulitan ketika minta bantuan kepada teknisi (ASN yang digaji oleh negara), bila tidak memberikan "uang lelah" memadai.