Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kantor adalah Tempat Kerja, Bukan Lembaga Pelayanan Karitatif

20 September 2021   06:57 Diperbarui: 22 September 2021   04:49 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja di sebuah instansi pemerintahan | Sumber: Pexels/Bruce Mars

Seorang manajer memarahi anak buahnya, "ini bukan kantor sosial, tapi kantor tempat bekerja. Gaji kalian dibayarkan untuk kepentingan perusahaan!"

Mereka ditegur sebab tidak maksimal dalam penggunaan waktu kerja. Di luar waktu istirahat dan pelaksanaan ibadah, beberapa oknum pegawai leyeh-leyeh dan ngopi-ngopi di antara periode produksi. Mereka kurang berinisiatif, hanya melaksanakan pekerjaan sesuai perintah atasan. 

Oknum tersebut bertipe karyawan dengan mental job order.

Baca juga: Bukan Job Order, tapi Kerendahan Hati yang Bisa Melambungkan Karier

Atasan langsung memberi teguran, bisa jadi karena pimpinan di atasnya mempertanyakan kinerja departemennya. Demikian pula dengan direksi yang memberikan pengarahan kepada pimpinan, sebab pemilik saham menanyakan proyeksi keuntungan kepadanya.

Teguran itu berlaku bagi anak buah yang bermalas-malasan. Jangan tanya jika pegawai membolos atau mangkir dari tempat kerja demi memenuhi ambisi pribadi. Paling sedikit, ia akan memperoleh peringatan keras. Konsekuensi paling pucuk adalah pemecatan.

Teguran dan sanksi indisipliner di atas terjadi pada perusahaan swasta, di mana waktu kerja adalah momentum produktif amat berharga. 

Oleh karena itu, pihak-pihak pada posisi penting dalam organisasi, semisal penyedia, manajer, direksi, akan mengawasi bawahan dengan ketat.

Tujuannya hanya satu: mengoptimalkan segala sumber daya dan biaya demi keuntungan perusahaan. 

Pada gilirannya, perolehan laba akan berpengaruh terhadap penghasilan para pihak terkait, termasuk pegawai.

Ilustrasi pegawai yang disiplin oleh Quanlecntt2004 dari pixabay.com
Ilustrasi pegawai yang disiplin oleh Quanlecntt2004 dari pixabay.com

Demikian pula halnya dengan korporasi raksasa yang disebut negara. Resultan dari kinerja baik dari berbagai komponen terkait, menjadi keuntungan negara yang disebut kemakmuran.

Mestinya, para pekerja yang digaji negara bertanggung jawab atas amanat diembannya.

Rasa-rasanya, Undang-undang dan peraturan mengatur perihal tindakan indisipliner Aparat Sipil Negara (baca: karyawan) berikut sanksinya telah lengkap. Bila dijabarkan, artikel ini melulu akan terdiri dari daftar panjang peraturan dan pembahasannya.

Tidak begitu. 

Ulasan hanya menyoroti kondisi praksis kepatuhan sementara ASN, terhadap peraturan "perusahaan" di lingkungan tertentu. Juga bukan hasil riset serius, tapi merupakan pengamatan sederhana yang tidak mengikuti kaidah keilmuan baku. 

Di lingkungan tempat yang saya tinggali saat ini, terdapat belasan kantor balai penelitian sebuah kementerian negara. Di dalamnya tersembul ribuan pegawai. Sebagian darinya bisa dipandang melakukan tindakan indisipliner.

Seorang karyawan wanita setiap pukul tujuh pagi mengendarai sedan mungil menuju sebuah balai penelitian. Rajin. Setengah jam kemudian ia pulang. Memasak dan mengurus cucu. Pukul setengah sepuluh-an, wanita itu kembali ke kantor.

Begitu setiap hari selama bertahun-tahun. Sepertinya tiada yang menegur atau penerapan sanksi terhadap tindakan indisipliner itu.

Fakta lain, beberapa ASN pria nongkrong di tangga kantor kosong. Menghabiskan waktu dengan bercengkerama, ngopi-ngopi, makan gorengan, pecel, atau bubur. Baru bubar setelah matahari mulai naik atau bila ada penugasan.

Kasus berbeda, seorang kerabat yang berkantor di salah satu balai berkisah, sebagai peneliti ia mengalami kesulitan ketika minta bantuan kepada teknisi (ASN yang digaji oleh negara), bila tidak memberikan "uang lelah" memadai.

Ia pun bercerita, ada beberapa sejawat yang sibuk melakukan penelitian untuk perusahaan swasta. Pagi dan petang datang hanya untuk menerakan kehadiran pada fingerprint. Kalaupun ada di kantor, ia memanfaatkan fasilitas laboratorium milik negara demi proyek penelitian swasta.

Sebagian oknum hadir di kantor tanpa melakukan kegiatan produksi, sesuai tupoksinya. Dalihnya, "sebentar lagi pensiun ini."

Dalam waktu lain, suatu ketika saya datang setelah waktu Lohor untuk menemui pejabat suatu dinas. Kepala Bidang Sarana dan Prasarana itu sudah keluar makan siang. Menurut keterangan bawahannya, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) tersebut dijamin tidak akan kembali. 

Saya kirim pesan singkat, dijawab agar menyusul ke Cibubur. Ia sedang mengawal kontingen Pramuka. Segera saya meluncur ke bumi perkemahan itu. 

Sepi, tiada tampak satupun kontingen Pramuka. Pesan selanjutnya mengarahkan kendaraan yang saya tumpangi menuju bagian tertentu.

Ternyata sebuah tempat yang ramai dengan mobil para pemancing. Saya menemui ASN itu pada jam kerja. Saya juga "dipalak" untuk mengongkosi biaya mancingnya. Apes.

Jika mengacu kepada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, yang ditandatangani oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada tanggal 31 Agustus 2021, maka kegiatan-kegiatan di atas digolongkan tindakan indisipliner. Atas pelanggaran tersebut, seharusnya ASN bersangkutan memperoleh hukuman disiplin. (Selengkapnya dapat dibaca di sini dan di sini).

Namun, mengapa kondisi indisipliner itu masih terjadi dan tidak membuat jera, kendati peraturan sudah lengkap? Apa perlu perangkat tersendiri untuk melakukan pengawasan?

Saya sendiri bukan ASN, tapi di sepanjang karier berkecimpung di dunia pekerjaan swasta. 

Menurut hemat saya, tidak adanya atasan atau manajer yang melakukan teguran tegas, membuat pegawai negara mangkir. Tiada pula para kolega yang mengingatkannya. Mereka menyepelekan pekerjaan digaji negara, demi kepentingan pribadi.

Singkat kata, atasan langsung, atau manajer yang dalam bahasa pemerintahan disebut Kepala Seksi (Kasie), Kepala Bidang (Kabid), Kepala Bagian (Kabag), Kepala Balai, dan seterusnya enggan melakukan teguran kepada bawahannya. Etos kerja, sebagaimana disandang atasan di perusahaan swasta, sepertinya tidak dijalankan.

Jadi Undang-undang, Peraturan-peraturan indisipliner ASN dan sanksi pelanggaran lama-kelamaan akan menjadi tumpukan kertas yang hanya indah dipandang mata. 

Peranan atasan langsung (Kasie, Kabid, Kabag atau apa pun namanya) adalah penting dalam penerapan peraturan disiplin yang dibuat. Tidak perlu lagi membentuk perangkat pengawasan khusus yang tentunya akan menggerus anggaran negara.

Kantor pemerintah adalah tempat kerja, bukan lembaga pelayanan karitatif yang mengongkosi ASN untuk leyeh-leyeh atau mengurus kepentingan diri sendiri.

Jangan lupa, pemegang sebagian saham pembentuk anggaran negara, yaitu rakyat pembayar pajak, sedang mengawasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun