Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bibir Merah yang Hilang

1 September 2021   08:36 Diperbarui: 1 September 2021   08:46 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bibir merah milik istri saya hilang, jatuh tercecer entah di mana. Saat pagi-pagi terbangun, saya melihat bagian dari mukanya itu pucat. Suatu keadaan yang membuat hati saya sangat masygul.

"Bune, segera lah bercermin!"

Dengan berat hati ia mengangkat tubuhnya, meninggalkan tempat beradu cinta menuju lemari, di mana kaca tertempel memantulkan bayangan.

Tampak daster yang pada bagian pinggang sebelah kirinya koyak membungkus tubuh lurus, bermahkota rambut panjang awut-awutan, mata membelalak lebar menyamarkan hidung mungil. Di bawahnya tidak ada apa-apa. Rata!

Tanpa suara, cermin memberikan pernyataan tak terbantahkan: bahwa bibir merah yang biasa melemparkan senyum renyah telah hilang dari wajah istri saya.

Ah, jangan pikirkan reaksi terperangah atau mulut menganga istri saya karena terkejut. Jangan!

Bagaimana ia bisa membuka mulut, jika bibir merahnya tidak ada?

Jangan juga bilang, mestinya saya merasa nyaman berada di rumah tanpa omelan. Mitraliur itu menghamburkan desakan-desakan, bak suara demonstran menagih janji kampanye para wakil rakyat dan birokrat pemenang pemilihan umum.

Desakan-desakan yang tidak dapat segera saya penuhi. Saya lebih mengutamakan mengadakan nasi beserta lauknya, daripada membeli layar datar demi membarui televisi tabung. Demikian juga dengan belanja panci presto, wajan teflon, lipstik, dan kosmetik.

Tiadanya bibir membuat saya tari payung, berpusing-pusing salah tingkah tidak karuan tanpa lawan bertengkar. Tiadanya bibir otomatis menghilangkan senyum istri saya. Rumah gersang tanpa hadirnya senyum.

Dulunya saya dikenal sebagai penggemar berat keindahan bernama senyuman. Petualangan saat bujangan mengisahkan perjumpaan-perjumpaan dengan beragam pemilik senyum menawan.

Saya mudah terangsang oleh tarikan ujung bibir merah pembentuk senyum renyah:

  • Reni, gadis berwajah oriental dengan mata cenderung menyipit, tarikan bibir merahnya telah menyeret saya ke rumah kosong.
  • Sari, dengan pipi agak terangkat memperlihatkan gigi depan renggang telah membuat tangan saya merayap di balik rok terlalu pendek di kamar kontrakannya.

Pendek kata, setiap rahang terbuka dari gadis-gadis manis yang memperlihatkan ekspresi senyuman renyah pasti menggiring saya melahap bibir merah itu sampai tuntas.

Akan tetapi, akhirnya petualangan saya terhenti. Saya terpenjara dalam senyum renyah seorang gadis manis.

Saya bertekuk lutut kemudian melingkari jari lentiknya dengan sepuluh gram cincin emas delapan belas karat. Akibat senyum melelehkan itu pula, kami beranak tiga dalam tempo kurang dari empat tahun.

Saya memang senantiasa tertawan oleh godaan tatapannya. Tampak sedikit kekanak-kanakan ketika mata lebarnya menyipit, tersipu lalu menunduk sambil memalingkan wajah.

Rona merah semburat pada wajah beningnya membuat saya ingin melindunginya. Memeluk penuh cinta bercampur nafsu, kemudian membopongnya ke atas ranjang. Berulang-ulang menggelorakan gelombang asmara.

Namun kini bibir merah pembentuk senyum renyah itu telah menghilang entah ke mana.

Pagi itu seisi rumah (saya, anak-anak, dan --pastinya-- istri saya) heboh mencari bibir merah yang hilang, berusaha menyingkap dengan segala cara.

Seluruh tempat yang sekiranya biasa digunakan sebagai wadah penyimpanan digeledah. Ember-ember penampung air di kamar mandi ditumpahkan isinya. Tanaman-tanaman ditebang.

Jatuh di rumah saudara? Pasar? Restoran? Tempat wisata? Mal?

Tidak mungkin! Karena istri saya tidak pernah ke luar rumah. Ia sibuk mengurus cucian, setrikaan, anak-anak menangis, ruang-ruang berantakan, dan potongan sayur mayur berserakan di dapur.

Dengan kesibukannya, maka saya tidak pernah membawanya pergi pakansi, dalam rangka mengurangi urat-urat semakin tumbuh di leher dan merambati wajahnya.

Sejak hilangnya bibir merah, saya malas segera pulang ke rumah, setelah pulang kerja serabutan.

Saya pun kadang berkelana sendiri. Kadang kongkow-kongkow berbual bersama teman lama dan pengangguran di pos ronda.

Semakin kemari frekuensi saya berada di luar rumah kian kerap. Paling sering adalah menghabiskan waktu di sebuah warung.

Setelah menyantap sepiring nasi dengan dadar telur disiram kecap manis, saya menyeruput secangkir kopi sembari memandang senyum Marni. Wanita itu bukan pemilik warung, tapi dipercaya oleh majikannya untuk melayani pengunjung warung.

Satu dua kali saya datang untuk menuntaskan penasaran terhadapnya. Kali ketiga kami saling berkenalan. Kali selanjutnya adalah anjangsana lebih lama dibandingkan pengunjung lainnya.

Saya tidak tahu bagaimana status Marni. Ia adalah wanita menyenangkan. Selalu memancarkan senyum istimewa kepada saya. Bisa jadi itu perasaan berlebihan saya saja.

Saya makin betah berlama-lana dengan Marni, membincangkan segala hal. Adakalanya wanita itu mengungkapkan unek-unek mengenai soal pribadi.

Pengalaman dan kepiawaian saya dalam ihwal nasihat-menasihati membuat wanita itu kerap mengembangkan senyum renyah.

Satu ketika, saking asyiknya, tak terasa hari merambat malam. Tiba saatnya menutup warung nasi. Sebagai gentleman sejati, saya ikut berpeluh mengemasi barang-barang, sebelum menutup pintu.

Ketika hendak mematikan lampu, Marni berbisik lirih, "kamu lelaki baik, penuh perhatian."

Wanita bertubuh singset itu menyipitkan matanya. Membuka rahangnya. Deretan gigi putih bergingsul terbuka.

Ia tersenyum renyah dengan menarik ujung bibir merah miliknya, kemudian tersipu, lalu menunduk sambil memalingkan wajah.

Serta-merta lampu warung padam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun