Guntur menggemuruh di dalam kepala, setelah membaca sebuah pesan WA :
"Tolong sampaikan kepada .... bla, bla, bla... agar membayar tagihan di aplikasi pinjaman online. Nomor anda dijadikan sebagai penjamin oleh nasabah tersebut."
Makdikipe! Saudara bukan. Kenal kagak. Tahu juga kagak, tapi terseret arus pusaran tagihan pinjol yang tidak jelas ujung pangkalnya.Â
Saat itu juga saya langsung pencet "Laporkan dan blokir" nomor WA pengirim, siapa pun itu. Habis perkara.
"Teror" semacam itu cuma sekali diterima, namun penawaran melalui pesan pendek (SMS) kerap masuk ke telepon genggam dari berbagai nomor telepon tidak dikenal.Â
Seketika itu juga saya menghapus SMS tersebut tanpa sempat membukanya. Demikian pula ketika ada panggilan telepon dari nomor asing, saya abaikan, kecuali bila yang bersangkutan menulis pesan (via SMS atau WA) terlebih dahulu.
Hal itu merupakan upaya saya untuk sekecil mungkin bersinggungan dengan pinjol, apalagi yang tidak jelas seperti itu.Â
Sebetulnya kenapa sih saya enggan berinteraksi dengan pinjol ilegal?
Sesungguhnya saat ini saya tidak memiliki urgensi terhadap pinjol. Terakhir mempelajarinya, ketika hendak mengulas tentang fintech lending di situs milik sebuah firma hukum.
Dikutip dari ojk.go.id, Pinjol, kepanjangan dari Pinjaman Online, adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman/lender dengan penerima pinjaman/borrower dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik. Istilah lain untuk pinjol adalah Fintech Lending atau Peer-to-Peer Lending.
Terinformasi, sejumlah 121 fintech lending telah terdaftar dan berizin pada OJK sampai dengan tanggal 27 Juli 2021. Berkaitan dengan peminjaman mata uang rupiah, penyelenggara fintech lending resmi berupaya mematuhi ketentuan berlaku.