"Om, ikut ke Sentul yuk!" Insinyur muda itu menawarkan tumpangan, seusai aku menyerahkan amplop.
Itu tanda senangku atas kinerjanya sebagai staf konsultan pengawas dalam proyek yang aku tangani. Ia banyak berperan dalam pembuatan laporan perkembangan harian, mingguan, dan bulanan proyek. Kegiatan sudah selesai, tinggal menunggu pencairan tagihan tersisa. Waktunya untuk bersantai.
"Ini seri pertama. Ada banyak jenis balap mobil seru," ujar Niko, konsultan muda tersebut berusaha meyakinkan.
Menurutnya, terdapat balap mobil klasik yang merupakan adu kecepatan mobil-mobil tua, seperti: Morris mini 1000, FIAT, BMW 2002, Peugeot 504, dan lain-lain. Juga balap mobil retro, diikuti oleh kendaraan keluaran lama, seperti yang telah dimodifikasi sedemikian rupa, dengan mengganti mesin, transmisi, sistem pengereman, sehingga mampu melesat cepat bak mobil balap baru.
Selain itu ada one make race, yaitu balap mobil satu pabrikan, seperti Volkswagen keluaran lama yang masih berpendingin udara. Tidak kalah seru adalah balap mobil-mobil produksi Eropa, seperti BMW, Mercedes, Peugeot, Audi.
Puncak dari segala balapan adalah kelas supercar, yang diikuti oleh mobil-mobil sport mewah seperti: Lamborghini, Ferrari, Porsche, BMW M5, Nissan GTR, dan sebagainya.
"Seru Om, terutama balap mobil retro di bawah tahun 80'an, seperti Toyota Corolla DX, Mitsubishi Lancer, Datsun Kotak, Alfa Romeo, BMW M40."
Sebetulnya aku enggan ke Sentul, khusus menonton balap mobil. Banyak hal yang ingin aku lupakan. Tetapi ajakan Niko demikian menggebu-gebu, sehingga aku tak kuasa menolaknya.
Dengan bangga Niko mengemudi Corolla DX keluaran tahun 1980 bersuara lepas atau disebut berknalpot free flow.
"Kenapa gak ikut balap retro atau klasik?"
"Gak kuat modalnya, Om. Butuh ratusan juta untuk memodifikasi mobil balap retro. Ikut yang lebih murah seperti balap mobil klasik pun tidak mampu membiayainya."
"Begitu ya."
"Iya, apalagi balap mobil Supercar. Kelas itu mah diikuti oleh para Sultan! Kalau saya, bisa ikut balap retro saja sudah keren."
"Baiklah, saya ikut hari Sabtu ini saja. Besok Minggu tidak usah ikut."
Kening Niko berkerut, "kenapa Om? Kan Minggu finalnya. Lebih seru!"
"Enggak. Masih ada pekerjaan yang harus dibereskan."
Setelah membeli karcis di gerbang masuk, Niko mengarahkan Corolla DX ke tempat parkir. Cukup banyak mobil, tapi tidak terlalu memenuhi ruang parkir.
Terdengar suara memekakkan dari knalpot-knalpot free flow. Dadaku berdegup. Ada getaran. Adrenalin berusaha keluar dari dalam pori-pori. Aku menarik napas, meredam gejolak yang membuat perut mules.
"Hayuk Om, sepertinya kita bisa dapat tempat duduk di tribun," seru Niko bersemangat sambil membeli minuman dan camilan.
Selama duduk di tribun menonton balapan, pikiranku melayang-layang, terbang ke masa silam. Aku tidak memperhatikan ujaran dan ulasan Niko atas jalannya balapan.
"Kita ke Paddock!" Seru Niko.
"Hah?"
"Iya, garasi mobil-mobil balap dan tempat istirahat para pembalap."
"Tapi...," aku ragu-ragu.
"Jangan khawatir, aku barusan nelpon teman yang meliput acara balap. Lewat dia kita bisa masuk ke Paddock."
Bagai kerbau dicocok hidung, aku mengikuti Niko kembali ke parkir, lalu membawa mobilnya ke terowongan menuju Paddock. Di sana sudah menunggu temannya yang menenteng kamera profesional.
Setelah berkenalan, mereka mengajak masuk lebih dalam, sambil bercerita seputar acara balap mobil. Mereka demikian fasih, memiliki pengetahuan mendalam tentang seri balap mobil. Niko dan temannya berapi-api menerangkan kepadaku. Aku terdiam membisu mengikuti mereka.
Perasaanku tidak enak. Gelegar di dada makin kuat. Aku berusaha menenangkan diri saat mendekati Paddock.
Terlihat aneka mobil balap ditempeli berbagai stiker sponsor terparkir dengan rapi, menunggu giliran kompetisi. Di atas garasi, terdapat ruang istirahat pembalap berpendingin udara. Ruangan ideal untuk menonton balapan.
Di depan garasi terdapat tempat duduk di bawah payung warna-warni, tempat bersantai para kru, mekanik, dan kadang kala para pembalap. Terlihat dua pembalap --kelihatan dari baju balap yang dikenakan-- sedang berbincang serius.
Salah satunya menoleh dan terperanjat memandang kami, "hey! Ke mana saja elu)*? Lama gak kelihatan? Sudah pensiun, bukan?"
Niko dan temannya saling berpandangan. Tercengang.
Sambil menunjuk dadanya, Niko menjawab, "saya? Ergh....."
Dua pembalap senior itu menghampiri, kemudian menjabat tanganku.
 "Ke mana saja sih. Sudah lama sekali elu tidak ikut balap mobil Supercar. Bener-bener pensiun, kayaknya," Steffi memeluk erat.
Pembalap satunya, Om Rio berkata, "kalau ke sini, nonton dari ruang istirahat saya saja. Tidak usah panas-panasan di tribun."
Mulut Niko dan temannya menganga lebar.
)* Elu: panggilan akrab berarti "kamu, engkau" (bahasa Betawi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H