Pedagang gorengan itu berlokasi di daerah Cimanggu Kecil, Kota Bogor. Menyewa halaman/teras depan rumah yang sedang dijual --tapi belum laku-laku-- pedagang itu menjual aneka gorengan dan pecel.
Pada awalnya, sekitar pertengahan Oktober tahun lalu, ia berdagang nasi uduk, bihun/mi goreng, dan gorengan (tempe, bakwan/bala-bala, risoles, pisang). Artinya, pecel adalah barang dagangan baru.
Ibu berputra tunggal tersebut adalah pengusaha mikro, dengan perkiraan omzet rata-rata sehari sebesar Rp200 ribuan, waktu itu, sembilan bulan lalu. Angka ini dihitung kasar berdasarkan pengakuan wanita itu, bahwa ia mengeluarkan modal sebesar Rp100 ribu per hari.
Kendati tergolong usaha mikro, wanita bernama Bu Santi itu tidak pernah memperoleh Banpres Produktif Usaha Mikro (BPUM), Bantuan Langsung Tunai (BLT), ataupun Bansos.
Kisahnya dapat dibaca di:Â Tidak Mendapat BLT, tapi Pelaku Usaha Mikro Ini Tetap Optimis
Menurut perkiraan dan penglihatan langsung, Bu Santi sepertinya mengalami kemerosotan penjualan.
Bukan karena soal teknis seperti rasa produk maupun pelayanan. Berbeda dengan penjual gorengan lainnya, Bu Santi selalu menyajikan gorengan secara hangat di sepanjang hari.
Diduga kemerosotan penjualan disebabkan penurunan daya beli konsumen. Sebagian pelanggan juga ada yang belum membayar penganan dimakan.
"Di luaran ada sekitar Rp100 ribu uang saya (piutang) belum dibayar," ujar Bu Santi, sembari mengangsurkan bungkusan gorengan kepada seorang musafir.
Produk dijual pun mengalami pengurangan jenis. Nasi uduk, bihun/mi goreng, risoles tidak tampak lagi, digantikan oleh pecel.
"Modal bahan pecel lebih murah. Terjual empat porsi, modal sudah kembali."
Perkiraan saya, Bu Santi kekurangan modal kerja, namun wanita berkulit gelap karena kerap terbakar matahari itu tidak mengeluhkannya.
"Belum dapat bansos?"
"Ah boro-boro."
Kini, kondisi ruang berukuran 3x4 meter persegi juga lebih penuh, dibanding sebelumnya. Meja display makanan, kursi plastik, dan kompor sekarang ditambah dengan kulkas, dispenser galon air mineral, meja makan besar, dan kasur lipat.Â
Lebih sesak dibanding pada bulan November lalu, saat saya pertama kali berkunjung.
Rupa-rupanya Bu Santi tidak lagi mengontrak rumah petak. Tempat jualan berfungsi juga sebagai tempat tidur Bu Santi dan putranya pada waktu malam. Mengenai kamar mandi dan lain-lain, saya tidak sampai hati untuk menanyakannya.
Barangkali terpengaruh emosi yang menyangkut rasa iba, saya berkesimpulan, bahwa usaha Bu Santi kekurangan modal, tergerus karena penurunan omzet dan bertumbuhnya piutang-piutang kepada pelanggan. Mudah-mudahan bisa ditagih dalam waktu dekat.
Secara langsung maupun tidak langsung, ia termasuk pengusaha kecil yang terkena dampak pandemi. Kekurangan modal adalah persoalan utama yang bersifat klasik melingkupi sektor usaha mikro semacam itu.
Bu Santi tidak berharap kepada Bansos dan semacamnya, tetapi ia memercayai adanya sejuta kebaikan untuk pedagang kecil. Ia pasrah kepada ketentuan-NYA.
Terlihat seorang pria muda berpeci menyerahkan kepada Aldino, putra tunggal Bu Santi, sebuah amplop putih. Isinya beberapa lembar uang.
"Ini untuk modal dagangan," Aldino menyerahkan selembar lima puluh ribu kepada ibunya, sedangkan lembaran tersisa berupa uang lima ribuan dimasukkannya ke dalam celengan.
Sebelum bendungan di kelopak mata meluap, saya memberikan Rp10 ribu untuk pembayaran pecel tanpa lontong dan dua tempe goreng.
Terbang ingatan saya menanyakan nomor telepon atau akun media sosial kepada Bu Santi.Â
Memangnya punya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H