Rata-rata, pengunjung berusia matang, bila tidak ingin disebut tua. Umumnya rombongan wisatawan itu datang dengan bis mewah. Menuntaskan rasa lapar dalam waktu sebentar.
Berbeda dengan grup orang Jepang yang ritual makannya panjang. Hidangan disajikan bertahap dan beragam. Sebuah rombongan, yang kemudian menjadi tamu tetap, menghabiskan waktu dari Isya sampai pukul sebelas malam.
Setiap malam.
Pada siang hari mereka serius bekerja. Malam merupakan waktu bersantai bersama. Pemahaman itu didapat Rudolfo setelah bergabung dengan mereka. Segera mereka menjadi akrab, meski Rudolfo masih tergagap berbahasa Jepang.Â
Gadis-gadis itu bukan turis biasa. Warga negara Jepang yang masing-masing memiliki suami pemuda lokal. Kecuali satu orang yang menarik perhatian Rudolfo.
Ia teringat kepada sesuatu. Gadis yang tidak hanya berkulit kuning, tapi putih susu seolah tembus pandang bak pualam baru dipoles. Kulit wajahnya lembut, memancarkan cahaya ayu nan anggun.
Dialah gadis penunggang kuda di pantai Kuta. Gadis Jepang yang anggun itu kini berada di hadapannya.
Rudolfo mencuri pandang. Hal itu kerap dilakukannya. Gadis Jepang anggun tersipu. Di dalam hati tumbuh taman rindu berwarna biru.
Perkembangan rasa dengan mudah diterka para sahabat. Mereka berbisik-bisik. Wajah gadis anggun merona. Menunduk.
Salah seorang tersenyum manis kepada Rudolfo, "Mitsuko, gadis ini, menyukai penampilanmu."
"Oh ya, terima kasih banyak. Aku juga menyukainya." sahut Rudolfo tanpa menyembunyikan kegembiraannya.