Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Camilan Korea? Gak Perlu Imitasi, Ini Juga Enak

3 Juli 2021   07:57 Diperbarui: 3 Juli 2021   08:24 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ruang internet telah melajukan Korean Wave menginternalisasi gaya hidup sebagian masyarakat Indonesia. Kemudian simbol-simbol Korea Selatan seperti Drama Korea, K-Pop, K-fashion, kuliner Korea, dan produk industri lainnya merasuk berupa suatu subkultur.

Ia membentuk identitas eksklusif yang disebut dominant reader, yakni orang yang terobsesi dengan hal serba Korea (rujukan 1).

Tidak hanya itu, fenomena tersebut meluas menjadi budaya pop beraroma Korea.

Salah satunya berkaitan dengan kecenderungan pilihan kuliner yang beragam, di dunia nyata maupun marketplace. Juga kanal-kanal yang menayangkan cara membuatnya.

Terseret arus globalisasi Korean Wave dan terpengaruh lingkungan, dengan mudah kita mengenal camilan:

  1. Korean garlic cheese bread atau roti bundar rasa bawang dan cream cheese.
  2. Hotdog Korea yang kadang disebut juga dengan corndog.
  3. Sweet potato mochi bread alias roti ubi jalar ungu.
  4. Bomboloni, yakni sejenis donat dengan isian di tengahnya.
  5. Croffle yang merupakan gabungan dari croissant dan waffle.
  6. Dubu atau tahu ditumis.
  7. Dan sebagainya.

Kalau sempat ke restoran Korea, akan lebih banyak lagi ditemui masakan yang cenderung pedas, camilan, dan minuman khas negeri ginseng tersebut.

Di tengah hiruk pikuk derasnya aliran kuliner Korea ke Indonesia, camilan domestik berjalan dalam sunyi. Diam-diam, geliat transaksi camilan asli atau jajanan tradisional Indonesia terus berlangsung, kendati tidak mendapat perhatian.

Meski dulunya sebagian dari camilan itu merupakan akulturasi kuliner pendatang, jajanan tradisional menyediakan beragam pilihan yang tak kalah enak dibanding jajanan Korea. Contohnya: Klepon, kue putu, cucur, nagasari, lemper, wajik, kue talam, bikang, cenil, lupis, serabi, dan masih banyak lagi.

Sebagian besar dari jajanan tersebut berbahan dasar tepung beras, tepung ketan, atau tepung tapioka, ditambah parut kelapa atau gula merah. 

Foto gorengan adalah dokumen pribadi.
Foto gorengan adalah dokumen pribadi.
Selain itu, dengan mudah kita dapat menemukan gorengan dalam kehidupan sehari-hari, semisal bakwan/bala-bala, tahu isi, tempe, pisang, mi glosor.

Baca juga: Mie Glosor, Takjil yang Diburu tapi "Mengglosor" Diterpa Pangan Impor

Untuk yang lebih kering, atau berbentuk crackers tersedia dalam bermacam variasi. Camilan itu umumnya terbuat dari aneka tepung, buah-buahan, biji-bijian, umbi-umbian, misalnya:

  1. Kerupuk, keripik bawang, kembang goyang, aneka kue kering
  2. Keripik sukun, keripik nangka, keripik pisang.
  3. Kacang goreng/sangrai, kacang koro, kedelai, rengginang.
  4. Keripik singkong, ubi jalar, talas, gadung.

Foto camilan keripik Tet-the (kiri) dan keripik Gadung (kanan) tersisa adalah dokumen pribadi.
Foto camilan keripik Tet-the (kiri) dan keripik Gadung (kanan) tersisa adalah dokumen pribadi.
Puluhan ragam camilan itu tersedia di pasar, supermarket, dan toko-toko, bahkan di marketplace.

Hampir setiap pekan, pada hari Sabtu, saya senantiasa mampir ke sebuah toko yang khusus menjual camilan. Di gerai tersebut tersedia puluhan jenis camilan yang bisa dibeli secara kiloan.

Saya biasa membeli 4 macam camilan, masing-masing seperempat kilogram. Untuk camilan yang bobotnya ringan (seperti gadung) cukup 1 ons saja. Kisaran harga perolehan adalah antara Rp 8 ribu sampai Rp 17 ribu. Kalau keripik gadung harganya Rp 40 ribu per seperempat kilogram, atau Rp 17 ribu per ons.

Secara umum, harga-harga itu cukup bersahabat. Lagi pula, banyaknya pilihan dapat memuaskan selera kita.

Ketersediaan jajanan tradisional dan camilan kering yang melimpah, rasa-rasanya kita tidak perlu ikut-ikutan mengimitasi camilan Korea. Jajanan dan camilan khas Indonesia jauh lebih enak dan tersedia dalam banyak pilihan.

Dengan mengonsumsi camilan tradisional, kita turut meningkatkan penggunaan bahan pangan produksi dalam negeri. Juga ikut menggerakkan industri penghasil penganan tradisional.

Walaupun sejengkal, kita sudah melangkah maju dalam rangka melestarikan olahan domestik dan mempertahankan --mungkin-- kultur lokal.

Jadi alangkah mulianya, jika kita tidak melulu mengimitasi camilan Korea, atau dari negara lain. Budaya kuliner kita menyediakan camilan yang melimpah dengan rasa jauh lebih enak. Kalau perlu, dilakukan upaya sistematis untuk mempengaruhi bangsa lain agar menyukai camilan Indonesia.

Jangan sampai, pada suatu ketika camilan khas Indonesia melipir, menyingkir, dan lenyap ditelan gelombang globalisasi, sehingga kelak kita mengimpor camilan asli Indonesia dari negara lain.

Mudah-mudahan tidak.

Sumber rujukan 1: Frulyndese K. Simbar, Jurnal Holistik, Tahun X No. 18 / Juli - Desember 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun