Lingkungan kecilmu telah membentuk kepercayaan terhadap takhayul. Sedangkan aku dibesarkan dalam keluarga yang meyakini rasionalitas, semua hal dapat dijelaskan dengan akal.
Namun aku tidak akan memaksamu untuk mengikuti cara berpikir logis. Saat ini aku berkompromi dengan nalar irasional yang engkau percayai. Satu-satunya alasan adalah: aku tidak ingin kehilanganmu.
Sampai detik ini kita --aku bersama kamu-- sedang berjuang, mengayuh biduk ringkih melalui gelombang kehidupan dalam satu pikiran. Bahagia merupakan pencapaian.
Pada sebuah malam paling membara, tiba-tiba engkau medekap kuat. Debar-debar pada dadamu menyatukan peluh kita.
 "Aku takut ...."
Dengan lembut aku mengecup dahi, membelai rambut halus, dan menghangatkan gigil tubuhmu.
"Aku takut. Aku mendengar suara burung kedasih. Kamu?"
Ya, aku tahu. Burung emprit itu dipercaya sebagai burung pembawa maut. Kicau monoton burung bermata merah dianggap pertanda datangnya kematian orang dekat kita.
Aku mengusap rambut dan memeluk tubuh membawakan tenang kepada gelisahmu. Jauh setelah malam, barulah terasa napas teratur mendengkur seperti kucing.
Keesokan hari dan hari-hari berikutnya tidak ada kerabat yang mangkat. Hanya ada pengumuman melalui pengeras suara di masjid kejauhan, memberitakan kematian seseorang yang tidak kita kenal.
"Nah kan, bener," tuturmu.