Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Kini Korupsi Meluas, Lebih Buruk Dibanding di Zaman Orde Baru

6 Juni 2021   08:44 Diperbarui: 6 Juni 2021   11:05 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demikian pula ketika berhubungan dengan pemerintah suatu provinsi. Deal cukup dilakukan dengan Gubernur. Pejabat Sekretaris Daerah menjadi "bendahara" penerima sogokan. Selebihnya, para bawahan manut dengan kemauan Gubernur, yang notabene menyuarakan kemauan perusahaan.

Tidak hanya itu. Para Kepala Daerah di bawah Gubernur, yaitu Bupati atau Walikota, tunduk kepada keinginan pengusaha.

Makna sentralisasi kekuasaan berlaku pula bagi sentralisasi suap atau sogokan. Terpusat. Satu pintu.

Tahun-tahun sesudah tumbangnya rezim Soeharto, praktik suap menyebar ke kelompok yang berada di bawah pimpinan lembaga negara. 

Selama tahun 2008 sampai 2018, saya membayar uang suap kepada banyak pihak pada sebuah Kabupaten.

Pada tingkat Dinas, sehubungan dengan proyek-proyek didapatkan, saya harus membayar kepada:

  1. Kepala Bidang, merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau pada zaman dulu disebut Pimpro.
  2. Kepala Seksi yang dibutuhkan tandatangannya pada dokumen-dokumen proyek.
  3. Bendahara atau Bagian Keuangan Dinas sebagai penerbit Surat Perintah Membayar.
  4. Para staf yang terlibat dalam penerbitan berkas-berkas, pemeriksaan, hingga satuan pengamanan.
  5. Pejabat dan pegawai Kas Daerah, untuk realisasi pencairan proyek.

Mekanisme serupa terjadi juga di Kementerian, dengan sedikit perbedaan pada jalur, jumlah orang disuap, dan besaran sogokan.

Ringkasnya, uang yang diperlukan adalah sebesar 2-5 persen dari nilai proyek.

Jumlah suap tersebut bisa lebih besar, jika "membeli" proyek dari oknum anggota DPRD atau pihak lain. Proyek di tangan wakil rakyat umumnya dihargai sebesar 7-10 persen dari nilai proyek.

Dengan sebaran dan luasan pihak-pihak yang harus disogok sehubungan dengan proyek, pemborong dituntut untuk pandai-pandai mengatur jumlah suap. Jika tidak, bisa jebol keuntungan untuk membiayai biaya tak berkuitansi tersebut.

"Kerugian" semacam itu pernah saya alami, di mana terhadap proyek senilai Rp 150 juta, hanya menghasilkan profit senilai Rp 1,3 juta. Apes tenan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun