Dewasa ini, di pemerintahan korupsi meluas. Tidak terpusat pada pimpinan, tapi menyebar ke tingkatan lebih bawah. Melebar.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) menyebut, kondisi ini jauh lebih buruk bila disejajarkan dengan praktik korupsi pada zaman Orde Baru. Bukan kuantitasnya, tetapi perbuatan ketakjujuran yang kian meluas.
Lebih lanjut, Mahfud MD di dalam disertasi 1993-nya mengungkapkan, bahwa pada periode Orba berkuasa, korupsi terkoordinasi. Ia merupakan jaringan aksi korporasi yang terorganisir rapi.
Pada era pemerintahan Orba, praktik kecurangan tersebut dilakukan secara "rapi" dan terpusat di pimpinan. Namun semenjak otonomi daerah diberlakukan di Indonesia pada tahun 1999, praktik korupsi menyebar ke jajaran lebih bawah. Lebih lebar, meluas.
Otonomi daerah sendiri diberlakukan di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, diganti oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian diganti lagi oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun demikian, artikel ini hanya menyoroti salah satu praktik korupsi, yaitu tentang suap kepada aparat negara.
Begini.
Jauh sebelum reformasi, kantor tempat saya bekerja memperoleh fasilitas dari salah satu lembaga negara. Pemimpin institusi tersebut mengalirkan proyek-proyek kepada perusahaan, karena kedekatan dewan direksi dengan sang menteri.
Suap sebagai "komisi" diberikan sekaligus ke tangan menteri, atau kepada Sesmen (sekretaris menteri). Tentunya praktik itu dilakukan secara diam-diam dan halus.Â
Sedangkan jajaran di bawahnya tidak minta apa-apa, karena uang kotor itu akan dibagi kepada bawahan secara proporsional.
Paling banter, perusahaan mengeluarkan biaya entertainment bagi segelintir pegawai departemen (sekarang: Kementerian) dengan nilai tidak terlalu materiil.
Demikian pula ketika berhubungan dengan pemerintah suatu provinsi. Deal cukup dilakukan dengan Gubernur. Pejabat Sekretaris Daerah menjadi "bendahara" penerima sogokan. Selebihnya, para bawahan manut dengan kemauan Gubernur, yang notabene menyuarakan kemauan perusahaan.
Tidak hanya itu. Para Kepala Daerah di bawah Gubernur, yaitu Bupati atau Walikota, tunduk kepada keinginan pengusaha.
Makna sentralisasi kekuasaan berlaku pula bagi sentralisasi suap atau sogokan. Terpusat. Satu pintu.
Tahun-tahun sesudah tumbangnya rezim Soeharto, praktik suap menyebar ke kelompok yang berada di bawah pimpinan lembaga negara.Â
Selama tahun 2008 sampai 2018, saya membayar uang suap kepada banyak pihak pada sebuah Kabupaten.
Pada tingkat Dinas, sehubungan dengan proyek-proyek didapatkan, saya harus membayar kepada:
- Kepala Bidang, merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau pada zaman dulu disebut Pimpro.
- Kepala Seksi yang dibutuhkan tandatangannya pada dokumen-dokumen proyek.
- Bendahara atau Bagian Keuangan Dinas sebagai penerbit Surat Perintah Membayar.
- Para staf yang terlibat dalam penerbitan berkas-berkas, pemeriksaan, hingga satuan pengamanan.
- Pejabat dan pegawai Kas Daerah, untuk realisasi pencairan proyek.
Mekanisme serupa terjadi juga di Kementerian, dengan sedikit perbedaan pada jalur, jumlah orang disuap, dan besaran sogokan.
Ringkasnya, uang yang diperlukan adalah sebesar 2-5 persen dari nilai proyek.
Jumlah suap tersebut bisa lebih besar, jika "membeli" proyek dari oknum anggota DPRD atau pihak lain. Proyek di tangan wakil rakyat umumnya dihargai sebesar 7-10 persen dari nilai proyek.
Dengan sebaran dan luasan pihak-pihak yang harus disogok sehubungan dengan proyek, pemborong dituntut untuk pandai-pandai mengatur jumlah suap. Jika tidak, bisa jebol keuntungan untuk membiayai biaya tak berkuitansi tersebut.
"Kerugian" semacam itu pernah saya alami, di mana terhadap proyek senilai Rp 150 juta, hanya menghasilkan profit senilai Rp 1,3 juta. Apes tenan.
Pada masa kini, sekian amplop mesti disiapkan bagi banyak oknum aparat negara. Meluas dan menyebar, sejumlah oknum aparat negara terlibat dalam sebuah proyek.
Jadi, benar pendapat yang menyatakan, bahwa pada saat ini di pemerintahan korupsi meluas. Butuh banyak amplop. Banyak mulut menganga meminta-minta.Â
Lebih buruk apabila dibandingkan dengan praktik korupsi zaman Orde Baru yang hanya terpusat pada satu pintu.
Penyebaran dan perluasan korupsi membuat benak bertanya, "sampai kapan korupsi di tanah Pertiwi ini akan  punah?"
Betapa kasihan, anak-anak dan keluarga penerima suap diberi makan dengan uang haram. Sekaligus, maafkan saya yang pernah terlibat dalam praktik suap menyuap itu.
Rujukan: kompas.com, Wikipedia
   Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H