Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Jangan Kalah Gertak, Jika Berada di Lingkungan Kerja Toksik

25 Mei 2021   09:59 Diperbarui: 25 Mei 2021   13:56 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tidak kalah gertak dalam rapat manajemen oleh Jmexclusives dari pixabay.com

Menyerah pasrah, berarti kita siap mengikuti rule of game dari lingkungan kerja toksik atau --paling buruk-- mundur dari pekerjaan. Berpendirian dan berani bersikap tegas, berarti kita siap mengubah tatanan tidak kondusif tersebut.

Apakah berlaku sebagai pegawai maupun pengusaha, dengan mudah kita menemui lingkungan kerja toksik. Apalagi berada di perusahaan yang dikelola secara konvensional yang kental dengan pengelolaan secara kekerabatan.

Tinggal bagaimana cara menyikapinya. Mau ikut arus atau mendobrak kebiasaan itu?

Dalam mengarungi samudra karier, saya beberapa kali mengalami hempasan ombak lingkungan kerja toksik.

Pertama kali, saya bekerja di perusahaan pembiayaan yang bagus atmosfernya. Namun keadaan itu berubah, setelah terjadi perubahan kepemilikan. Lingkungan kerja toksik muncul. 

Berawal dari kentalnya unsur kekerabatan (kolusi) pemilik baru dalam proses sistem rekrutmen dan penjenjangan karier bagi karyawan. Jangan tanya perihal renumerasi.

Bagusnya, ada klien yang menawarkan jabatan di perusahaannya dengan imbalan sekian kali lipat dari pendapatan di perusahaan asal. Fasilitas memadai. Berada di gedung dengan sewa termahal di Jakarta. Tempat kedua saya berkarier cukup nyaman. Saya bekerja bersama dengan tim manajemen berusia setara. Sama-sama muda dan profesional.

Tiada tempat kerja yang sempurna. Semakin banyak proyek dikerjakan, waktu semakin terasa mengeriput. Lama-lama penyelesaian pekerjaan tidak cukup dengan hanya mengandalkan selang waktu delapan jam sehari. Sangat melelahkan.

Setelah itu, saya beralih ke perusahaan pelayanan yang menyediakan makan minum dalam suasana entertaining. Usaha kafe bergaya Western, Italian, Oriental, dan Indonesian itu berada di bangunan berarsitektur Bali dengan hiburan musik hidup setiap malam. Menyenangkan.

Saya menjabat sebagai manajer keuangan. Setara kedudukannya dengan tiga manajer lainnya, yaitu: executive chef, operasional, HRD, dan marketing. Empat manajer yang langsung bertanggung jawab kepada Dewan Direksi. Struktur organisasi yang lumrah.

Namun yang saya anggap tidak lumrah, adalah unsur senioritas yang menjadi panglima. Chef dan manajer operasional merupakan senior dalam perusahaan, secara umur maupun peran dalam perusahaan.

Pada tataran manajemen harian, mereka merasa sebagai pemegang kuasa, orang yang paling tahu, dan semua orang di kafe harus tunduk kepada mereka. Termasuk juga para manajer lainnya yang notabene memiliki kedudukan dan kewenangan setara.

Mestinya tidak ada subordinasi di antara manajer, tetapi koordinasi.

Perhatian utama saya saat itu adalah, selain menjaga likuiditas juga mengindahkan pengelolaan keuangan yang lebih pruden menghadapi penjualan yang terus-menerus menurun. 

Saya menilik secara menyeluruh atas performa keuangan dari sejak masa berdiri sampai saat itu, ditambah amatan terhadap kondisi biaya-biaya internal dan eksternal.

Atas dasar kenyataan itu saya menyampaikan fakta dan usulan sebagai berikut:

  1. Situasi persaingan semakin ketat, dengan bertumbuhnya usaha sejenis.
  2. Harga-harga tertera di menu tidak selaras dengan biaya langsung yang cenderung naik.
  3. Perlu pengurangan menu ditawarkan, mengingat beberapa produk sangat lambat perputarannya. Bahkan ada satu produk yang terjual hanya satu porsi dalam setahun.
  4. Mengefisienkan fasilitas diberikan kepada para manajer.
  5. Dan beberapa usulan dan rencana tindakan yang pada dasarnya lumrah dilakukan dalam mengelola keuangan, demi meningkatkan potensi profitabilitas perusahaan.

Baca juga: Menyiasati "Small Money Earner" dalam Bisnis F&B

Pemaparan dalam rapat bersama manajemen, Direksi menanggapi dengan senang dan mereka menyerahkan penanganannya kepada saya.

Tidak demikian halnya dengan para manajer senior, Chef dan Manajer Operasional. Mereka menentang keras masukan saya. Segala dalih menunjukkan keengganan mereka terhadap perubahan. Mereka merasa nyaman dengan kondisi status quo. Dua orang yang berperan besar pada awal pendirian perusahaan itu berkeras dengan sikapnya.

Merasa senior dan berperan besar, dua manajer berusia di atas saya itu mulai menghasut seluruh karyawan agar meminggirkan saya. Dari itulah, saya baru mengerti, bahwa saya terjerembap di lingkungan kerja toksik.

Saya tidak mau menyerah begitu saja menghadapi situasi tersebut. Namun saya juga tidak mau bersikap frontal, yang akan berpotensi merusak suasana kerja secara keseluruhan. Tidak demikian.

Beberapa kali saya mengundang para supervisor untuk ikut rapat manajemen. Sedikit demi sedikit saya menularkan iklim demokrasi di dalam perusahaan. Suara seluruh pegawai saya tampung dalam pertemuan karyawan.

Dua orang itu semakin berkeras, kemudian ngambek sambil berlaku berlebihan (bs. Sunda, nyungkun: memenuhi keinginan orang lain karena kesal dan pusing). 

Mereka "menyerahkan" tanggung jawab kepada saya. Semua dokumen permintaan dan persetujuan dilimpahkan kepada saya. Perbuatan mereka telah melewati batas pembagian tugas.

Kepalang tanggung, saya pun berlaku (acting) sebagai General Manager, kendati di dalam struktur organisasi jabatan itu tidak ada.

Saya tidak mau kalah gertak demi mempertahankan prinsip menghadapi kesewenangan dari lingkungan kerja toksik. Dalam perjalanan, saya pun membuktikan pendapat. Perlahan namun pasti, para karyawan mulai mendukung kebijakan yang saya inisiasi. Kinerja perusahaan secara keseluruhan kian moncer.

Baca juga: "Relationship", Faktor Penentu Keberhasilan Usaha Kuliner

Dengan peranan solid seluruh karyawan, pada akhirnya dua hal penting bisa dicapai, yaitu:

  1. Pengeluaran (biaya-biaya) berhasil ditekan sedemikian rupa, sehingga menampilkan kinerja keuangan yang efisien.
  2. Pendapatan meningkat dengan jumlah signifikan.

Dari perkembangan performa perusahaan itulah dua manajer senior, Chef dan Manajer Operasional tunduk. Mau melemahkan egonya dan menjalin kerja sama secara penuh. Berikutnya, Direksi menegaskan General Manager sebagai jabatan resmi yang ditempati oleh saya, menjadikan para manajer sebagai subordinat.

Sejak saat itu, sirna pula iklim kerja dengan nuansa senioritas.

Jadi, kita tidak boleh kalah gertak menghadapi lingkungan kerja toksik. Demi prinsip, harus tegas dan tegar. Tidak begitu saja tunduk, lalu menyerah kepada keadaan.

Jangan pula kewenangan itu melahirkan lingkungan kerja toksik baru. Iklim kerja kondusif jauh lebih menghasilkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun