Beberapa kali saya mengundang para supervisor untuk ikut rapat manajemen. Sedikit demi sedikit saya menularkan iklim demokrasi di dalam perusahaan. Suara seluruh pegawai saya tampung dalam pertemuan karyawan.
Dua orang itu semakin berkeras, kemudian ngambek sambil berlaku berlebihan (bs. Sunda, nyungkun: memenuhi keinginan orang lain karena kesal dan pusing).Â
Mereka "menyerahkan" tanggung jawab kepada saya. Semua dokumen permintaan dan persetujuan dilimpahkan kepada saya. Perbuatan mereka telah melewati batas pembagian tugas.
Kepalang tanggung, saya pun berlaku (acting) sebagai General Manager, kendati di dalam struktur organisasi jabatan itu tidak ada.
Saya tidak mau kalah gertak demi mempertahankan prinsip menghadapi kesewenangan dari lingkungan kerja toksik. Dalam perjalanan, saya pun membuktikan pendapat. Perlahan namun pasti, para karyawan mulai mendukung kebijakan yang saya inisiasi. Kinerja perusahaan secara keseluruhan kian moncer.
Baca juga: "Relationship", Faktor Penentu Keberhasilan Usaha Kuliner
Dengan peranan solid seluruh karyawan, pada akhirnya dua hal penting bisa dicapai, yaitu:
- Pengeluaran (biaya-biaya) berhasil ditekan sedemikian rupa, sehingga menampilkan kinerja keuangan yang efisien.
- Pendapatan meningkat dengan jumlah signifikan.
Dari perkembangan performa perusahaan itulah dua manajer senior, Chef dan Manajer Operasional tunduk. Mau melemahkan egonya dan menjalin kerja sama secara penuh. Berikutnya, Direksi menegaskan General Manager sebagai jabatan resmi yang ditempati oleh saya, menjadikan para manajer sebagai subordinat.
Sejak saat itu, sirna pula iklim kerja dengan nuansa senioritas.
Jadi, kita tidak boleh kalah gertak menghadapi lingkungan kerja toksik. Demi prinsip, harus tegas dan tegar. Tidak begitu saja tunduk, lalu menyerah kepada keadaan.
Jangan pula kewenangan itu melahirkan lingkungan kerja toksik baru. Iklim kerja kondusif jauh lebih menghasilkan.