Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Too Much Analyzing yang Mengganggu Konstelasi Organisasi

20 Mei 2021   09:59 Diperbarui: 20 Mei 2021   14:52 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi too much analyzing atau terlalu banyak pertimbangan oleh Jambulboy dari Pixabay.com

Di depan pintu kelas, seratus pasang mata memandang tajam. Biaya pelatihan sebesar Rp 5 juta per orang terancam sia-sia sebab perbuatan kami berdua.

Akibat kami bersikap too much analyzing, waktu penyelesaian tugas yang mestinya sederhana menjadi melar. Instruktur berhonor mahal bersiap meninggalkan kelas. Menenteng koper pakaian, ia siap terbang kembali menuju negaranya. 

Pria berkebangsaan Amerika Serikat itu tidak menyukai kegagalan anak didiknya dalam pemenuhan waktu.

***

Sampai artikel ini ditulis, saya belum menemukan batasan mengenai too much analyzing. Istilah tersebut disematkan oleh instruktur berkewarganegaraan Amerika Serikat kepada kami berdua setelah peristiwa di atas.

Bukan overanalyzing atau overthinking yang merujuk kepada gangguan mental, di mana seseorang memikirkan segala hal dengan berlebihan, dari soal sepele, masalah kehidupan sehari-hari, sampai dengan pengalaman traumatis pada masa lampau.

Berbeda nuansa. Too much analyzing merupakan ekspresi dari sikap kehati-hatian dan prudent dalam menghadapi sebuah situasi.

Pemahaman too much analyzing kira-kira sehaluan dengan terlalu banyak pertimbangan. Terlalu menimbang tentang segala kemungkinan yang akan terjadi sampai dengan skenario terburuk dari suatu keadaan.

Sesungguhnya di dalam ilmu manajemen, bersikap bijaksana (prudent), berhati-hati, dan menetapkan pertimbangan tentang sesuatu hal adalah lumrah. Namun pengkajian itu seyogianya bersesuaian dengan perkiraan waktu.

Ilustrasi too much analyzing atau terlalu banyak pertimbangan oleh Jambulboy dari Pixabay.com
Ilustrasi too much analyzing atau terlalu banyak pertimbangan oleh Jambulboy dari Pixabay.com
Sementara, seseorang dengan gejala too much analyzing cenderung lupa atau melupakan waktu dengan banyak membuat pertimbangan demi menghasilkan kesempurnaan hasil. Hal itu berdampak kepada kerja sama tim. Paling buruk, akan mengganggu organisasi kerja secara keseluruhan.

***

Peristiwa di mana saya mengalami too much analyzing terjadi di sekitar tahun 2000-an.

Setelah menyelesaikan tahap Basic, bersama 100 orang dari berbagai institusi, saya mengikuti experimental training pada jenjang Advance. Biaya pelatihan di level ini dua kali lipat dari kelas dasar. Materi yang disuguhkan lebih padat dan sifat dari pelatihan juga lebih ketat.

Tujuannya sama dengan pelatihan sebelumnya, yaitu berkaitan dengan perkembangan kepribadian dan kesadaran diri dalam berkelompok (organisasi), berkomitmen, kerja kelompok secara efektif, dan pembentukan karakter pemimpin.

Pelatihan bukan bersifat teoritis. Tidak ada sekalipun tugas mencatat materi pelatihan. Pelatihan yang disampaikan dalam bahasa Inggris penuh itu adalah tentang menyimak materi dan mengalami sendiri peristiwa dalam bahan diajarkan.

Singkatnya, setelah 4 hari terus-menerus berada di ruangan, pada hari berikutnya peserta mendapatkan kesempatan untuk berjalan-jalan. Jangka waktu untuk kembali ke kelas adalah 3 jam (kalau tidak salah).

Hanya ada satu tugas sederhana yang harus diselesaikan, yakni menemukan keramaian dan melakukan mingle atau berkomunikasi dengan orang baru dikenal. Menanyakan nama, asal muasal, dan pertanyaan umum lainnya yang akan dicatat pada selembar kertas. Gampang bukan?

Saya dipasangkan dengan seorang peserta, akuntan dari sebuah BUMN. Di dalam perjalanan, kami memilih: tempat mana yang akan dituju? Sebaiknya seramai apa, agar kami bisa melakukan peran sosial secara sempurna? Apakah ruang sosial yang homogen atau heterogen? Dan seterusnya. Dan seterusnya.

Setelah sekian kali berhenti untuk membahas jawab atas pertanyaan tersebut, maka dipilihlah acara pameran di Balai Sidang Jakarta (JCC).

Di sana, ada bertambah lagi pertanyaan: Siapa yang dipilih? Dari kelas sosial yang bagaimana? Muda atau tua? Perorangan atau keluarga? Apakah mereka berkeberatan? Bagaimana menghadapi penolakan?

Kami membahas segala kemungkinan, berhati-hati dalam memilih, dan menimbang solusi apabila skenario terburuk terjadi, sambil masing-masing melahap semangkuk bakso, minum kopi, dan menyedot asap sekian batang sigaret.

Setelah semua dirasa sempurna, kami memilih satu keluarga yang beristirahat dekat tempat kami duduk. Segala kekhawatiran sirna. Mereka adalah pribadi baik dan menyenangkan. Pertanyaan-pertanyaan sederhana dijawab dengan ramah. Kegiatan mingle dan pencatatan berlangsung setengah jam.

Segera setelah itu kami dengan semringah kembali ke gedung tempat kelas berada.

Kami tiba di depan pintu kelas, seratus pasang mata memandang tajam. Menyambut dengan kemarahan.

Instruktur berkebangsaan AS menjinjing koper bersiap-siap hendak kembali ke negaranya. Ia kesal. Kami berdua telah mengabaikan instruksinya. Tentang commitment. Tentang makna berorganisasi. Tentang efektivitas kerja kelompok. Dan tentang pemenuhan terhadap skala waktu ditentukan (to be on time)

Ternyata, empat jam kami berdua baru kembali. Satu jam melampaui waktu ditentukan.

Bagi instruktur bule, semua hal itu adalah kesalahan fatal. Tidak satupun dalih dan alasan (excuses) serta pengingkaran yang dapat diterimanya. Kecuali mengakui kesalahan (to admire) dan meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Bukan kepadanya, tetapi kepada seluruh peserta dan panitia.

Instruktur menyebut kami berdua sebagai orang dengan gejala too much analyzing. Terlalu banyak pertimbangan.

Dalam penyelesaian tugas sederhana, menghitung segala kemungkinan agar kelak tidak terjebak di dalam skenario terburuk. Kami berdua dengan sempurna mewujudkan sikap kehati-hatian dan prudent berlebihan agar memperoleh hasil paling sempurna. Demikian seriusnya pertimbangan itu, sehingga kami berdua lupa untuk menghitung waktu.

Pelajaran dari peristiwa di atas adalah, berkomitmen terhadap hasil sempurna merupakan hal penting. Akan tetapi lebih penting lagi, bila berkomitmen terhadap waktu dan efektivitas kerja kelompok, baik kelompok kecil (kami berdua) maupun kelompok besar (organisasi kelas atau kerja).

Dengan demikian, too much analyzing atau terlalu banyak pertimbangan di dalam menghadapi sebuah situasi dapat merugikan, diukur dari efektivitas waktu. 

Too much analyzing, meskipun berbeda nuansanya dengan overthinking, akan menghambat potensi diri, terutama kerjasama tim di dalam kehidupan kerja. Ia dapat mengganggu konstelasi organisasi dalam worklife.

Sumber rujukan: overthinking

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun