Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Nulis yang ringan-ringan saja. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Geng Sekolah yang Terbentuk karena "Common Enemy"

1 Mei 2021   17:07 Diperbarui: 2 Mei 2021   22:02 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi geng sekolah oleh AdinaVoicu dari pixabay.com

Apabila merujuk kepada pemahaman geng sebagai sekumpulan orang (biasanya anak muda) dengan latar belakang serupa, maka dari mulai SMP sampai dengan mahasiswa saya ikut geng. Ada kesamaan minat atau latar belakang. Ada kebersamaan. Ada keterikatan psikologis antar sesama anggota.

Pada tahun awal SMP, saya ikut geng sepeda BMX. Ketertarikan bersamanya adalah, aktif melatih keterampilan mengemudikan dan memenangkan lomba balap sepeda khusus di sirkuit tanah.

Naluri balap tersebut berkembang waktu SMA, dengan menggunakan sepeda motor. Tetap sirkuitnya berupa tanah atau biasa disebut: grass track. Selain dimotori kesukaan serupa, geng itu dilatari oleh kesamaan asal sekolah. Mengambil satu merek minuman beralkohol sebagai identitas, jadilah ia sebuah geng disegani di sekolah, bahkan di seluruh kota.

Bukan geng motor seperti sekarang yang cenderung berlaku negatif dan brutal, tapi geng sekolah yang lebih fokus kepada prestasi otomotif. Meraih piala pada berbagai lomba grass track di kota-kota sekitar merupakan bukti nyata.

Nah, ketika kuliah saya ikut membentuk geng sekolah (atau geng kuliah?). Lahirnya geng sekolah tersebut dipicu oleh adanya common enemy.

Lha, memangnya ada perang? Siapa sih musuh bersama itu?

Di dalam lingkungan sekolah, terutama perguruan tinggi, tradisi senior-junior merupakan adab yang mau tidak mau harus dipatuhi. 

Aturan tidak tertulis itu kemudian melembaga dalam bentuk perpeloncoan, yang kemudian berganti nama menjadi: ospek, posma, MOS, Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKMB), dan seterusnya.

Demikian juga yang terjadi di kampus tempat saya menimba ilmu. Sebagai mahasiswa baru, saya dan sekian ribu (lupa jumlah persisnya) mahasiswa harus mengikuti perpeloncoan tingkat universitas.

Seusai itu, masih ada ospek tingkat fakultas dan jurusan. Setidaknya ada 3 kali perpeloncoan harus diikuti agar diterima dalam pergaulan mahasiswa jurusan.

Bagi mereka yang tidak ikut perpeloncoan, akan "dikucilkan" dalam pergaulan kampus. Juga tidak ada kans untuk ikut dalam organisasi kemahasiswaan (senat, himpunan mahasiswa jurusan).

Senioritas sangat kental. Arogansi mahasiswa senior terhadap juniornya amat kuat. Ada saja "penindasan" dilakukan oleh mahasiswa angkatan lebih lama kepada yang baru.

Sampai pada satu kejadian selama perpeloncoan membuat semangat perlawanan mahasiswa baru bangkit.

Bangun melawan karena para mahasiswa baru mempersepsi adanya common enemy. Musuh bersama, yaitu mahasiswa senior yang berlaku semena-mena, walaupun kami telah mengikuti aturan dan prosedur ditetapkan.

Dipicu peristiwa itu, puluhan mahasiswa baru berkumpul di satu tempat, membahas kegelisahan tersebut. Penggagasnya adalah sekumpulan perantau, yang pada perkembangan berikutnya menjadi sebuah geng.

Dengan sumber daya yang dimiliki, mahasiswa baru melawan dengan segala cara. Bukan dengan kekerasan fisik, tetapi kekuatan penggentar dan diplomasi yang meruntuhkan lembaga senioritas.

Selain didukung kemampuan extraordinary salah satu anggota geng, sebagian besar dari kumpulan perantau itu merupakan anak-anak petinggi negeri. Itu adalah bagian dari modal.

Baca kisah selengkapnya: Ospek Beraroma Kekerasan, Bisakah Diganti dengan Andragogi?

Sejak saat itulah, angkatan kami merupakan satu-satunya gelombang mahasiswa baru yang disegani (bukan ditakuti) oleh mahasiswa senior.

Dalam perjalanan berikutnya, praktik perpeloncoan dengan kekerasan bertransformasi kegiatan pengenalan kampus kepada mahasiswa baru dengan teknik andragogi.

Jadi persepsi common enemy, dapat membentuk sekumpulan orang bersatu yang disebut geng sekolah atau kampus.

Begitulah keseruan menjadi anggota geng kampus, jika tidak boleh disebut sebagai geng sekolah. Menurut hemat saya, keberadaan geng sekolah/kampus akan berpengaruh positif, jika bertujuan dan berlaku positif pula.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun