Senioritas sangat kental. Arogansi mahasiswa senior terhadap juniornya amat kuat. Ada saja "penindasan" dilakukan oleh mahasiswa angkatan lebih lama kepada yang baru.
Sampai pada satu kejadian selama perpeloncoan membuat semangat perlawanan mahasiswa baru bangkit.
Bangun melawan karena para mahasiswa baru mempersepsi adanya common enemy. Musuh bersama, yaitu mahasiswa senior yang berlaku semena-mena, walaupun kami telah mengikuti aturan dan prosedur ditetapkan.
Dipicu peristiwa itu, puluhan mahasiswa baru berkumpul di satu tempat, membahas kegelisahan tersebut. Penggagasnya adalah sekumpulan perantau, yang pada perkembangan berikutnya menjadi sebuah geng.
Dengan sumber daya yang dimiliki, mahasiswa baru melawan dengan segala cara. Bukan dengan kekerasan fisik, tetapi kekuatan penggentar dan diplomasi yang meruntuhkan lembaga senioritas.
Selain didukung kemampuan extraordinary salah satu anggota geng, sebagian besar dari kumpulan perantau itu merupakan anak-anak petinggi negeri. Itu adalah bagian dari modal.
Baca kisah selengkapnya: Ospek Beraroma Kekerasan, Bisakah Diganti dengan Andragogi?
Sejak saat itulah, angkatan kami merupakan satu-satunya gelombang mahasiswa baru yang disegani (bukan ditakuti) oleh mahasiswa senior.
Dalam perjalanan berikutnya, praktik perpeloncoan dengan kekerasan bertransformasi kegiatan pengenalan kampus kepada mahasiswa baru dengan teknik andragogi.
Jadi persepsi common enemy, dapat membentuk sekumpulan orang bersatu yang disebut geng sekolah atau kampus.
Begitulah keseruan menjadi anggota geng kampus, jika tidak boleh disebut sebagai geng sekolah. Menurut hemat saya, keberadaan geng sekolah/kampus akan berpengaruh positif, jika bertujuan dan berlaku positif pula.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H