Mohon tunggu...
Budi Susilo
Budi Susilo Mohon Tunggu... Lainnya - Bukan Guru

Best in Citizen Jounalism dan People Choice Kompasiana Awards 2024, yang teteup bikin tulisan ringan-ringan. Males mikir berat-berat.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Kisah Peter Carey Menjaga Semangat Menulis

30 April 2021   09:09 Diperbarui: 30 April 2021   11:23 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Peter Carey pada webinar Ngobrol Proses Kreatif KP-PBK (dokumen pribadi)

Selama 40 tahun Peter Carey melakukan studi tentang sejarah Jawa (periode: 1825-1830), termasuk meneliti kehidupan Pangeran Diponegoro. Benar-benar sebuah totalitas dalam penelitian.

Sarjana Trinity College, Universitas Oxford, Inggris dan master (PhD) Cornell University, AS, itu membagikan pengalamannya pada acara bertajuk Ngobrol Proses Kreatif.

Sebuah webinar dwi-mingguan yang diselenggarakan oleh Kelompok Penulis Penerbit Buku Kompas (KP-PBK), dipandu oleh A. Bobby Pr dan Amanda Setiorini, dan dibuka oleh Mas Tra (Tri Agung Kristanto/Redaktur Senior Kompas).

Acara ke-lima belas itu berlangsung melalui Zoom pada tanggal 29 April 2021 pukul 14.00-16.00 WIB, sehari sebelum sejarawan berkebangsaan Inggris itu berulang tahun.

Baca juga: Menulis Jangan Egois, Gunakan Artikulasi Sederhana dan Mudah Dimengerti

Profesor Carey menyampaikan paparan dalam Bahasa Indonesia dengan artikulasi sangat jelas. Selain itu, beliau juga menguasai bahasa Jawa.

Menurutnya, meneliti sejarah suatu bangsa adalah mustahil tanpa mempelajari bahasa dan kehidupan sosio-kulturnya. Tidak bisa begitu saja melakukan studi pustaka saja tanpa kerja lapangan.

Memang kerja lapangan tiada tandingan dibanding penelitian pustaka (Peter Carey)

Oleh sebab hendak melakukan penelitian lapangan itulah, pada tahun 1970 Peter Carey berangkat ke Indonesia. Perjalanan itu nyaris menamatkan riwayatnya, karena setibanya di Teluk Betung usus buntunya pecah, tetapi hal itu tidak menyurutkan tekadnya. Setelah sembuh, ia melanjutkan petualangannya.

Penulis buku best seller (Takdir, Inggris di Jawa, dan Urip Iku Urub) itu tertarik meneliti Diponegoro, karena sebuah sketsa karya Francois de Stuers (dalam buku H.J. de Graaf tentang Perang Jawa). Sejenak (at glance) ada semacam kontak batin (krentek) dengan gambar. Sesuatu yang misterius, mistikal, membuatnya tiba-tiba tertarik pada sosok bangsawan Jawa itu.

Di sepanjang penelitiannya, Carey melihat Diponegoro sebagai tokoh yang memiliki hati nurani, polos tanpa pendidikan gaya barat, mampu melihat makna dari sebuah situasi, dan memiliki persentuhan dengan alam. Kekuatan itulah yang membuat Carey semakin "akrab" dengan sosok Pangeran Diponegoro.

Dengan kata lain, hal itu disebut sebagai kearifan lokal yang tidak diajarkan oleh sistem pendidikan Barat. Dengan studinya, Carey berkehendak melawan keangkuhan barat dengan menggali kearifan lokal.

Peter Carey menjaga kebugaran dan semangat menulis dengan bangun pukul setengah lima pagi, bermeditasi satu jam, berolahraga ringan, dan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan menulis.

Amat kaya apa yang disampaikan oleh Peter Carey tentang menjaga semangat menulis, sehingga tidak semua dapat dimuat di dalam artikel singkat ini. Namun demikian, saya akan meringkasnya sebagai berikut:

  1. Dalam penelitian sejarah, selalu lakukan verifikasi sumber, seperti arsip-arsip, babad setempat, dan dokumen autentik lainnya.
  2. Belajar bahasa dan kultur setempat. Akan lebih bagus, jika terjun langsung (kerja) lapangan.
  3. Menulis sejarah (bisa juga berlaku untuk bidang lain-penulis) adalah tentang mengumpulkan bahan (data), menuliskannya dengan runut dan runtut, lalu menyajikannya dengan menarik. Harus tepat, bukan dibumbui seperti film Hollywood.
  4. Jangan cepat merasa puas (satisfied) dengan hasil tulisan. Sebelum pencetakan ulang, Peter Carey selalu merevisi/menambah substansi pada bukunya. Menurutnya, fakta sejarah memang tidak berubah, tetapi perspektif tentang sejarah itulah yang berubah.
  5. Usahakan setiap hari menulis minimal satu baris.
  6. Seperti latihan violin, piano, penulis harus rajin melatih keterampilan menulis. Dengan itu akan menghasilkan "gaya suara" tersendiri.
  7. Menulis jangan tergesa-gesa, seperti wine yang semakin lama disimpan akan semakin enak. Karya tulis harus dibaca ulang, sehingga lama-kelamaan akan muncul pola (pattern).
  8. Menulis itu seperti membuat perhiasan dari emas. Berhati-hati untuk membuat karya bermutu tinggi.
  9. Mempelajari segala hal setiap hari (Learning everything everyday).

Sebetulnya masih banyak yang disampaikan oleh Peter Carey dalam kesempatan tersebut. Seperti kredo tentang hidup yang merupakan kemajemukan, dan tidak dibatasi oleh kesempitan (berpikir picik).

Atau hal-hal ghaib di sekitar kehidupan Diponegoro yang bukan dipandang sebagai klenik, tetapi semacam cosmic destiny yang mistikus. Barangkali pada kesempatan lain ihwal tersebut akan saya elaborasi.

Dengan demikian, itulah cara menjaga semangat menulis menurut Peter Carey. Oleh karena itu, saya cukupkan sampai di sini interpretasi atas pemaparan sejarawan dimaksud, berkaitan dengan ihwal tulis menulis.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun